Ratu Cumi's Choice

APA SAJA YANG HARUS DIPERSIAPKAN JIKA INGIN MEMULAI "DIVING"?

Diving , atau dalam bahasa Indonesia bisa disebut dengan menyelam, adalah salah satu olahraga yang masuk ke dalam kategori ekstrem. Dari sem...

Minggu, 26 Oktober 2014

Ketika Mahameru di Depan Mataku


Mahameru, sebuah nama yang selalu melayang-layang di dalam kepalaku, sebuah nama yang selalu membuat adrenalin ini terpacu, sebuah nama yang selalu membuat berdiri bulu kudukku. Mahameru.

Pertama kali aku mengenal namanya dari sebuah novel dan lagu. Kucari tahu siapa dia, hmm, ternyata dia si puncak Gunung Semeru. Ingin sekali rasanya menancapkan kaki ini ke dalam pasir-pasirnya. Tak peduli dengan lelah, tak peduli dengan ragu, aku ingin sekali Mahameru. Bertahun-tahun berlalu, hingga akhirnya aku pun berjodoh dengan sang waktu untuk bisa mencumbu Mahameru.
***

Perjalanan ini terjadi beberapa waktu lalu, tepatnya Mei 2014. Katanya orang-orang, di bulan ini Semeru lagi ganteng-gantengnya, di mana musim hujan sudah berhenti dan mengubah sang alam pun menjadi lebih asri. Selain itu, aku pribadi ingin sekali memberi hadiah ulang tahun untuk seorang teman, sebuah trip menuju Gunung Semeru. Susah juga, nih, mengajak teman-teman buat ikut pergi, Kebanyakan dari mereka tidak ingin mengambil jatah cuti yang terlalu banyak. Akhirnya muncul ide untuk mencari teman baru lewat internet. Mencari mereka-mereka yang sekiranya punya jadwal yang sama untuk melakukan pendakian.

Setelah browsing-browsing, bertemulah aku dengan sebuah nama. Ia mempunyai rencana perjalanan yang sama denganku, dan mempunyai masalah yang sama: belum punya teman jalan. Akhirnya aku dan temanku memutuskan untuk bergabung dengannya ( dan orang-orang lainnya yang punya masalah yang sama). Aku tidak mengenal mereka, mereka pun tidak mengenal aku. Tapi aku rasa ini bakal jadi perjalanan baru yang seru.

Aku dan temanku bertemu dengan rombongan di Stasiun Malang. Ternyata mereka om-om semua! Hahahaha... bakal seru, nih! Dari stasiun Malang kami melanjutkan perjalanan ke Tumpang. Nah, dari Tumpang kita harus naik Jeep ke Ranu Pane.

Sambil terkantuk-kantuk karena pengaruh obat anti mabuk, tidak terasa kurang lebih dua jam kami sudah tiba di Ranu Pane. Pintu masuk menuju Gunung Semeru itu pun tampak ramai sekali. Sepertinya banyak pendaki dari berbagai daerah yang datang, yang ingin bertemu Mahameru seperti aku. Beruntung sekali rombongan kami bisa langsung melaksanakan pendakian sore itu. Sangking penuhnya, banyak rombongan pendaki yang harus menunda pendakian hingga esok hari.

Jantungku ini berdegup dengan kencang. Kami semua, pribadi-pribadi yang baru saja berkenalan pagi tadi pagi, akan mendaki bersama menuju Mahameru. Sebelum itu kami mendapat penataran dari ranger setempat, tentang aturan-aturan yang harus dijalankan selama pendakian. Seperti  perlengkapan pendakian dan perbekalan. Semua perbekalan kami didata dengan baik, karena setiap sampah yang di bawa naik harus di bawa turun kembali. Setelah selesai kami pun siap berangkat!


Aku dan kedua orang temanku jalannya paling belakang. Tapi lama-kelamaan kami mulai menyusul teman-teman satu rombongan yang sudah mulai kelelahan. Macam siput jalan ngesot, setiap ada tanah landai pasti ada yang berteriak "POIN PLISSSSS..." yang artinya: berhenti sejenak untuk menarik nafas, meneguk air, merokok, atau mengunyah sesuatu. Seru sekali pergi sama om-om ini.

Hari sudah mulai gelap, kami semua pun mengeluarkan senter untuk melihat jalan setapak. Tidak berani melihat kiri kanan, melaju dan melaju menembus semak-semak dan pepohonan. Hari sudah mulai sepi, yang terdengar hanyalah derap kaki dan hembusan nafas diri sendiri. Sering kali kami bertemu dengan rombongan-rombongan yang akan pulang. Aku berkata dalam hati "pendakian mereka sebentar lagi selesai, dan aku masih harus terus melangkah". "Semangat, mba!" kata mereka ketika berpapasan denganku. Inilah yang aku suka dari perjalanan mendaki gunung, yang tak kenal bisa jadi kenal, yang kenal bisa menjadi saudara di mana susah senang ditanggung bersama. Saling memberikan semangat satu sama lain, saling menyapa satu sama lain, tidak peduli aku tahu kamu atau kamu tahu aku. Kami semua berbaur di bawah kendali alam.

Tidak terhitung berapa pos yang sudah kami lewati, tidak pula terhitung tanjakan dan turunan yang sudah kami lalui. Hanya gelap malam yang terekam saat itu. "Itu dia, Ranu Kumbolo!" salah seorang berteriak. Entahlah siapa tuan dari sang suara, tapi membuat semangatku kembali terpacu. Kami pun semakin mempercepat langkah. Ranu Kumbolo (2.390 m.dpl), sebuah danau yang berada di bawah kaki Gunung Semeru, sudah di depan mata. Di tengah kegelapan malam yang entahlah ada rembulan atau tidak saat itu, akhirnya aku bisa melihatnya. Begitu tenang, begitu sunyi, hanya terdengar riak-riak air akibat angin malam saat itu. Bibir danau dipenuhi oleh tenda-tenda para pendaki bercahayakan lampu senter. Ada yang tertawa, hening, sibuk memasak, ataupun hanya sekedar mengobrol dan bersenda gurau. Sebagian dari kami langsung terlelap karena lelah. Malam semakin larut, dan udara dingin pun semakin terasa seolah-olah menusuk lapisan-lapisan kulit hingga ke tulang. Tertidurlah kami, menyiapkan tenaga untuk kembali mendaki esok hari.

***
Aku terbangun oleh matahari pagi ke-16 di bulan Mei. Beberapa anggota rombongan sudah mulai beraksi di depan kamera. Aku pun tidak mau kalah, segera ku pakai sepatuku dan bergabung dengan mereka. Aku terpana dengan pemandangan pagi itu, danau yang tenang berselimutkan kabut pagi dan berhiaskan sinar mentari. Sungguh cantik Ranu Kumbolo, sangat lah cantik Ranu Kumbolo. Rasa kagum dalam hati hingga tak bisa aku menggambarkannya lewat kata-kata. Aku sama sekali tidak ingin melupakan apa yang kulihat hari itu, kuabadikan segera keindahannya dalam bentuk gambar. Pemandangan yang begitu indah dan menenangkan hati,

Ranu Kumbolo di pagi hari, 16 Mei 2014

Sang Pemanis, 16 Mei 2014


Puas menikmati keindahan pagi Ranu Kumbolo, kami pun bersiap untuk melakukan perjalanan. Tujuan kami menuju Kalimati, pos terakhir menuju Mahameru. Mendengar namanya bikin bulu kuduk berdiri, entah mengapa. Baru saja melangkah, kami sudah dihadapkan dengan sebuah bukit dengan tanjakan yang cukup terjal. Tanjakan ini dikenal dengan nama Tanjakan Cinta. Konon, jika punya seseorang yang dicintai dan berharap cintanya bisa diterima serta kekal untuk selama-lamanya, para pendaki harus mendaki tanjakan terjal ini tanpa menengok ke belakang. Walaupun aku menanjak tanjakan ini dengan susah payah, dan dengan kecepatan bak seekor siput, aku berhasil melewati tanjakan ini tanpa melihat ke belakang *yeay*.

Pemandangan bukit terjal pun berganti dengan pemandangan padang rumput yang sangat luas dan berhiaskan bunga Verbena Brasiliensis Vel, bunga berwarna ungu yang mirip dengan lavender. Kami tiba di Oro-oro Ombo (2.460 m.dpl). Hari mulai siang, cahaya matahari nampak begitu menyengat di atas kepala, sesekali angin gunung bertiup memberikan kesegaran sesaat ditengah terik matahari. Aku dan teman-temanku berjalan membelah padang rumput Oro-oro Ombo. Pemandangan indah padang rumput yang kulihat beberapa waktu lalu, berganti dengan ilalang yang sama tingginya dengan diriku. Sejauh mata memandang aku hanya melihat ilalang-ilalang, di kejauhan aku lihat barisan perbukitan yang membingkai Oro-oro Ombo,

Ilalang mulai menghilang, tibalah kami di Cemoro Kandang (2.500 m.dpl). Kucari tempat yang  landai untuk merebahkan tubuh sejenak. Lelah mulai terasa, padahal jarak dari Ranu Kumbolo menuju Cemoro Kandang tidak begitu jauh, tapi panasnya sinar matahari meruntuhkan stamina yang ada. Beruntunglah tempat ini bervegetasi cemara gunung, sehingga udara pun sedikit sejuk. Namun dada ini tetap terasa sesak akibat kelelahan dan tidur yang kurang nyenyak semalam.

"Ayo kita berangkat lagi," kata salah seorang teman. Dengan gontai aku bangun dari rebah. Memupuk semangat dan kekuatan kepada diri sendiri. Kali ini medan yang disajikan adalah tanjakan. Tidak terlalu terjal, tapi kita harus terus menerus menanjak. Dada yang sesak membuat nafas tersengal-sengal. Rasanya dada ini dicekik hingga oksigen hanya dipermisikan masuk sedikit saja ke paru-paru. Jalan setapak-setapak berhenti, Jalan sepuluh langkah berhenti. Lihat tempat landai berhenti. Mulai repot rasanya. Tapi selama masih bisa jalan, otak selalu memberikan perintah untuk jalan kepada kaki pemalas ini.

"Ayo semangat, ini tanjakan terakhir. Setelah tanjakan ini kita akan bertemu dengan medan landai," kata temanku. Hingga pada akhirnya tiba di Jambangan (2.700 m.dpl), jalur pendakian yang didominasi pohon mentigi atau sabana, Kami tidak berhenti, karena dari sini, aku sudah bisa melihat ada yang mengintip di kejauhan. Begitu gagah, begitu megah, Mahameru. Dengan sisa tenaga yang ada kami berjalan menuju Kalimati (2.700 m.dpl).

Tidak ingin menguras tenaga lagi, aku pun langsung beristirahat. Sangat amat terasa lelah. Bernafas pun mulai terasa susah, karena dada ini sesak. Nampaknya alergi dingin yang kuidap kambuh. Aku menggigil parah malam itu. Dua buah sleeping bag sudah tidak bisa memberikan kehangatan. Temanku membantu agar aku lebih terasa hangat. Dibuatkannyalah segelas susu coklat panas. Aliran air hangat di kerongkongan sedikit menghangatkan diri. Rasa ragu mulai datang, apakah bisa aku mencumbu Mahameru? Apakah bisa aku menancapkan kaki-kakiku di pasir Mahameru? Sudah sejauh ini, jangan sampai menyerah. Aku terus meyakinkan diri sendiri, untuk jangan menyerah.

Teman-teman seperjalanan, 16 Mei 2014

Mission accomplished, Tanjakan Cinta, 16 Mei 2014

Oro-oro Ombo Hamparan padang rumput berhiaskan bunga Verbena Brasiliensis Vel, 16 Mei 2014.

Mahameru dari kejauhan, 16 Mei 2014.

***
Waktu pendakian pun tiba, serangan kedinginan pun mulai hilang. Segala sesuatu dipersiapkan dengan pasti. Membawa barang-barang yang dibutuhkan, sisanya ditinggal begitu saja di tenda. Kami berangkat tengah malam. Salah satu anggota rombongan yang dituakan dipercaya untuk memimpin melafalkan do'a sebelum berangkat. Begitu syahdu. Begitu selesai, perjalanan pun dimulai.

Brug... brug... brug... langkah kaki memecah keheningan malam di Kalimati. Satu tujuan kami, Mahameru. Tanpa melewati Arcopodo, kami semua berjalan menuju Mahameru (3.676 m.dpl). Kelamnya malam berhiaskan lampu-lampu senter para pendaki seperti sebuah lampu disko warna warni. Seperti biasa, aku sih jalannya ngesot. Teman-teman yang lain sudah berjalan duluan, ada pula yang menyerah di awal. Sebelum menuju medan berpasir, kita harus melewati hutan terlebih dahulu. Menanjak, sudah pasti menjadi menu sarapan di dini hari. Lagi-lagi aku berjalan dengan menggunakan rumus sepuluh langkah berhenti, sepuluh langkah berhenti. 

"Lihat ke atas," ujar temanku, Begitu aku menegakkan leher, aku melihat barisan lampu senter di badan Mahameru. Seperti semut-semut kecil yang sedang berjalan diatas gundukan gula. "Sebentar lagi kita masuk medan berpasir, ikutin langkah aku. Lima kali melangkah, kamu hanya seperti sedang melangkah dua kali," tambahnya.

Dadaku kembali berdegup dengan kencang. Ini dia, jalan menuju Mahameru. Aku menutupi lubang telinga dan lubang hidung dengan buff. Pelan-pelan kami melangkah. Kali ini aku tidak bisa lagi menggunakan rumus 10 kali langkah. Aku hanya mampu lima kali langkah saja. Jadi, lima langkah berhenti, lima langkah berhenti begitu seterusnya. Belum seperempat bagian, lelahnya minta ampun. Akhirnya dikeluarkanlah senjata ampuh alias webbing. Dengan susah payah temanku menarik aku dengan tali. Percis seperti sapi yang disuruh jalan hahaha. Dari pada mogok jalan mending dibilang kayak sapi, deh.

Setapak, turun. Dua tapak turun lagi. Terus menerus seperti itu. Mau gila rasanya. Oksigen sudah mulai berkurang. Aku pun menggigil kedinginan, Temanku selalu menyemangatiku untuk selalu melangkah. Lelah, tidak perlu ditanya lagi. Rasa ragu kembali datang, mental tempe mulai menyerang. Payah, deh! Mental makin goyah ketika melihat ada sekelompok orang dari atas kami yang turun tergesa-gesa. "Tetap sadar, ayo tetap sadar, jawab nama kamu siapa, ayo tetap sadar," kata salah seorang diantara mereka. Ada yang terserang hypothermia. Mereka meluncur dengan cepat menyelamatkan sang kawan. Aku coba menenangkan diri, dan tetap melanjutkan perjalanan. 

Hampir setengah jalan, kami setuju untuk berhenti. Duduk diam dalam hening, memandang sudut cakrawala yang sudah mulai bercahaya. Begitu indah pemandangan dari atas sini. Aku menatap kembali ke puncak, dan menatap kembali ke bawah. Rasanya mustahil aku bisa tiba di atas sana. Tapi temanku selalu meyakinkanku kita berdua akan sampai di atas sana. Tapi tubuh gendut ini sangatlah lelah tuan, tapi aku tahu tuan pasti lebih lelah. Dengan tenaga yang masih tersisa kami kembali mendaki. Hari sudah terang saat itu.

"Aku udah capek, kayaknya aku udah enggak kuat lagi," akhirnya keluar juga pernyataan ini. "Aku tunggu kamu di sini, wakilkan aku di puncak sana. Aku udah enggak kuat lagi," kataku kembali sudah sedikit berkaca-kaca. Temanku hanya diam memperhatikan aku. "Kita pergi bareng-bareng, kita kalah bareng-bareng. Aku bisa aja lari hingga ke puncak sana, tapi aku enggak mungkin ninggalin kamu di sini sendirian," katanya.  Mendengar itu aku pun malah menangis *cengeng*.

Lagi-lagi kami mendaki sambil jalan terseok-seok. Nanjak dua langkah, turun lagi, nanjak tiga langkah turun lagi. Putus asa rasanya. Dari mulai tegap hingga harus merangkak, mencoba meraih apa yang bisa diraih. Entah itu bebatuan, atau pasir. Sudah banyak orang yang kembali turun, sementara aku masih usaha naik. Banyak yang memberi semangat, tapi ada juga yang mematahkan semangat dengan berkata puncak bukan segalanya. Berkali-kali pula kami bertemu dengan orang-orang yang menyerah. Tapi kami memaksa untuk terus naik. 

Sudah melebihi setengah jalan tinggal sebentar lagi. Sampai pada akhirnya kami bertemu seorang laki-laki yang berjuang untuk mendaki sendirian. Dia terlihat sangat lelah, tidak lama dia tersungkur, Dengan sigap temanku membantunya. Wajahnya pucat pasi, Rupanya dia tertinggal oleh rombongannya dan belum makan atau minum sama sekali. Aku segera membaginya perbekalan yang aku bawa, Dia meneguk minumku hingga habis, dan melahap biskuit yang aku berikan dengan cepat. Seusai makan ia memutuskan untuk berhenti, Kami, mencoba untuk meneruskan pendakian.

Satu persatu pendaki mulai turun, tapi aku masih naik. Sudah hampir jam 9 pagi saat itu, Mental kembali tergoyahkan karena mengingat peraturan yang diucapkan oleh ranger di Ranu Pane, tidak boleh berada di puncak di atas jam 9 pagi. Aku bertanya kepada temanku, tapi ia meyakinkan aku untuk terus mendaki. Aku nurut saja. Sampai akhirnya tiba di satu titik, aku merasa tidak sanggup lagi. Aku merebahkan diriku sambil terlentang di atas pasir. Aku memandang langit yang sangat indah sampai tak bisa berkata-kata. Kalau kata dosenku, ini semacam peak experience. Tiba-tiba merasa terpuaskan dan bahagia, Entah mengapa.

"Sudah tidak perlu menuju ke puncak, aku sudah puas. Puncak orang-orang mungkin ada di atas sana. Tapi puncakku masih di sini. Enggak apa-apa, ya. Kali ini kita kalah." kataku. Mahameru sudah di depan mata, tapi mungkin belum saatnya untuk mencumbunya, Setelah mendengar kata-kataku temanku tersenyum dan ikut berbaring di sebelahku. Menikmati alam, melihat pemandangan yang jarang sekali terlihat. Semuanya terasa sempurna, hingga tak terasa aku tertidur dengan nyenyak. Ya, aku tertidur dengan nyenyak di pasir Semeru hahaha. (akibat kejadian ini, mukaku gosong terbakar sinar matahari, lo!)

Pendakian kali ini sangatlah berkesan untukku. Bertemu dengan orang baru, menginjakkan kaki di tempat yang diidam-idamkan selama ini, semangat yang menggejolak, dan kegoyahan fisik serta mental yang begitu besar. Melawati berbagai macam medan dan berusaha untuk tidak pernah menyerah dan terus berjuang. Aku pun menjadi sadar kita hanyalah makhluk kecil di alam semesta yang luas ini, kecil dan tidak berdaya. Belajar untuk selalu saling menghargai dan setia kawan.

Terima kasih Mahameru, izinkan aku untuk kembali dan mencumbumu suatu hari nanti.


Sedikit lagi sampai di Mahameru, 17 Mei 2014.
 
Tulisan asli:
Ketika Mahameru di Depan Mataku