Ratu Cumi's Choice

APA SAJA YANG HARUS DIPERSIAPKAN JIKA INGIN MEMULAI "DIVING"?

Diving , atau dalam bahasa Indonesia bisa disebut dengan menyelam, adalah salah satu olahraga yang masuk ke dalam kategori ekstrem. Dari sem...

Minggu, 19 Desember 2021

Perjalanan merintis hunian - Part 1

 Kembali ke tahun 2017. Saat itu aku masih bekerja sebagai seorang jurnalis. Sebagian besar teman-temanku sudah berumah tangga. Aku? Masih menjadi aku yang seorang diri dan asyik sendiri. Hingga pada waktu aku pergi hiking bersama temanku dan terlibat perbincangan panjang di perjalanan. Perbincangan ini tentang kehidupan.

Setelah bekerja menahun, aku cukup menghasilkan uang. Namun ke mana uangnya? Menjadi tai. Iya, sering banget aku mengeluarkan  uang hanya untuk jajan dan nongkrong, yang ujung-ujungnya hasi nongkrong dibuang di kloset menjadi tai. Akhirnya temanku ini mengusulkan supaya aku menghabiskan uang di barang tetap, yang bisa dijadikan sebuah investasi. Hal ini cukup membuka pikiranku, sih.

Sekali waktu, aku pernah menginap di tempat temanku yang lainnya. Temanku ini punya apartemen di daerah Jakarta Pusat. Aku cukup kagum, sih, dengan dia yang bisa punya hunian sendiri. Dia pun bilang, daripada kita bayar kost tiap bulan, mendingan langsung beli hunian. Uang yang dikeluarkan jelas untuk diri sendiri pada akhirnya, bukan untuk orang lain.

Perbincangan-perbincangan ini cukup memengaruhiku, sih. Iya, juga, ya. Daripada uang jadi tai, mendingan investasi. Akhirnya aku merapihkan keuanganku. Setelah hitung-hitung akhirnya aku memutuskan membeli sebuah apartemen. Uangku enggak cukup untuk beli unit di daerah Jakarta, maka akupun memutuskan untuk membeli di daerang Tangerang Selatan.

Aku melakukan banyak riset sebelum membuat keputusan. Riset yang aku buat untuk memperkuat niat. Seperti, kenapa apartemen? Kenapa enggak rumah? Jawabannya simpel, aku bukan orang yang bisa ngurus rumah. Aku enggak mau mikir sampai botak untuk urusan genteng bocor, tikus, dan urusan domestik rumah yang lain. 

Kenapa Tangerang Selatan? Karena saat itu aku bekerja di perusahaan media yang kantornya akan segera pindah ke daerah Palmerah. Maka aku mencari hunian yang akses transportasinya mudah untuk diakses. Ada satu apartemen di daerah Tangerang Selatan, yang baru akan dibangun. Salah satu promosinya, salah satu tower akan memiliki koneksi ke stasiun KRL, yang mana stasiun KRL tersebut hanya 20 menit dari Palmerah. Walaupun letaknya enggak terlalu di kota, tapi dia berada di daerah yang sedang berkembang. Dekat dengan salah satu mol mewah dan daerah yang dibidik perusahaan-perusahaan untuk membuat perkantoran. Selain itu, akan banyak kampus yang membuka cabang di daerah ini. Win-win solution. Jika aku tidak tinggal di apartemen tersebut, setidaknya akan ada banyak peluang untuk disewakan.

Setelah tekad yang bulat, maka datanglah aku ke marketing office apartemen tersebut. Aku datang bersama temanku, pakaian kami biasa saja. Aku bahkan hanya pake celana kulot, t-shirt, tas ransel dan sendal. Keliatan biasa saja, tapi kalo mau dilihat merk dan ditotal harganya jadi gak biasa saja. Kenapa aku bahas hal ini? Karena aku dicuekin cukup lama di ruang tunggu. Mungkin para marketer ini menganggap dua mbak-mbak ini cuma mau tanya-tanya doang.

Akhirnya, setelah protes, dilayanilah kami oleh seorang marketing perempuan bertubuh mungil. Dari tingkah lakunya cukup terlihat bahwa dia baru. Akan tetapi, si mbak ini bisa menjelaskan banyak hal dan cukup detil. Yang paling hebat, dia bisa membuat aku yakin betul untuk beli, 100 %. Tapi aku enggak gegabah, karena harus diperbincangkan lebih lanjut dengan ibu aku. Aku minta waktu untuk hal ini.

Dari hasil perundingan dengan ibu aku, akhirnya keputusan pun bulat. Aku menghubungi si mbak marketing, untuk membuat janji transaksi. Aku datang kembali ke marketing office, kali ini dengan pakaian yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Kali ini si mbak marketing ditemani oleh manajernya, orangnya juga menyenangkan. Dia berhasil meng-upgrade niatku yang hanya ingin membeli unit studio, menjadi unit dua kamar. Kok bisa? Kira-kira begini perbincangannya:

He: Yakin mau beli yang studio? Kecil banget ini Mba ukurannya.

Me: Yakin mas, lagian kan saya hanya sendirian.

He: Sendirian, kan, di tahun 2017. Nanti apartemennya, kan, jadi 2020. Mbak pasti udah berkeluarga, dong.

Me: (yang waktu itu masih punya pacar) Hmm, iya juga, ya.

He:Nah, kan, mending  yang dua kamar Mbak..

Emang jago jualannya, terhasutlah aku untuk membeli yang dua kamar. Kampret memang ! Hahahah.

Karena waktu itu aku punya dana, dan karena aku gak mau punya tanggungan, aku bayar cash keras yang dicicil selama tiga bulan. Kesepakatan dan transaksi pun terjadi. Si mbak dan mas manajer pasti dapet bonus dari transaksi ini. Mamam buat para marketing yang tidak memedulikan aku di ruang tunggu. Makannya, jangan pernah menilai orang dari penampilannya.

(Bersambung ke part 2)

Minggu, 27 Juni 2021

Perjalanan Mengenal Diri Sendiri

Saat ini umurku hampir menuju angka 35. Enggak nyangka, ya, tiba-tiba udah umur segini. Perasaan baru kemaren lulus SD. Heu~

Di satu sisi, aku cukup bersyukur dengan pencapaianku yang sudah bisa sejauh ini. Tapi di sisi lain, ada sedikit rasa cemas. Aku seperti semakin jauh dengan diriku. Seiring berjalannya waktu aku merasa ada banyak perubahan dari dalam diri ini. Sesimpel, aku mulai tidak menyukai makanan manis. Aku juga sudah tidak terlalu nyaman mengelola pertemanan dengan banyak orang, aku lebih mengutamakan teman yang memang benar-benar memiliki kedekatan cukup erat. Belum lagi masalah ketahanan tubuh dan kelincahan, jauh berbeda dengan aku di awal umur 30-an.

Salah seorang teman menyarankan aku untuk mengikuti tes Myers-Briggs Type Indicator (MBTI). Sebuah tes untuk mengetahui kepribadianku. Selama ini aku hanya mengetahui aku itu sanguinis yang melankolis. Aku juga hanya mengetahui aku itu ekstrovert. Akan tetapi aku tidak mencari tahu lebih dalam. Perasaan aku mulai tidak mengenal diri akulah yang mulai mendorongku untuk mengeksplorasi kepribadianku. Mungkin secara umum aku tahu, tapi kurang spesifik dan terstruktur.

Alat untuk melakukan tes ini banyak tersedia secara daring. Salah satu alat yang aku coba adalah alat yang disediakan oleh https://www.16personalities.com . Kita akan disuguhkan oleh beberapa pertanyaan tentang suatu kondisi, lalu kemudian kita tinggal mengisi skala setuju atau tidak setuju. Karena fungsi dari tes ini adalah mengetahui kepribadian kita, maka kita wajib mengisinya sejujur mungkin. Dari hasil tes, dapat diketahui bahwa kepribadianku adalah ESTJ-T.

Jangan puas dengan satu alat, coba tes lagi dengan alat yang lain, untuk lebih memastikan. Aku pun direkomendasikan oleh temanku untuk mencoba di https://www.metarasa.com. Tes kali ini, bukan skala setuju atau tidak setuju. Tapi kita diminta untuk memilih skala prioritas untuk suatu situasi, seperti "I enjoy meeting friends" atau "I enjoy solving problems on my own". Setelah menyelesaikan tes,  hasilnya sama, ESTJ-T.

Wow, aku merasa terkonfirmasi membaca penjelasannya. Seolah-olah menjadi lebih yakin dengan diri sendiri. ESTJ-T ini biasa disebut si Eksekutif, karena  logis, tegas, berjiwa pemimpin, disiplin, cepat membuat keputusan, menyukai fakta konkret. Jiwa ekstrovertku seolah menyelamatkan aku dari kepribadian yang tegas dan kaku, karena aku suka menghabiskan waktuku dengan orang lain dan menjadi pusat perhatian (tentu 😁). Ketika bergaul, aku bisa menjadi seseorang yang menyenangkan (walau kesan pertama orang lain kepadaku adalah aku galak, gara-gara mukaku yang cetakannya emang galak).

Lalu setelah mengetahui kepribadian, gimana?

Jujur, setelah tes ini aku melakukan refleksi dan evaluasi terhadap diri aku sendiri. Karena ada beberapa hal yang menjadi kelemahan dari kepribadianku ini. Seperti kaku, tidak peka, keras kepala, argumentatif, dan suka memerintah. Aku tidak mengelak, karena itu semua benar 😁. Lagi-lagi terkonfirmasi. Mengetahui kelemahan akan membuat kita lebih bisa menentukan sikap, supaya lebih  baik lagi. Lalu, kalau kita bisa mengatasi kelemahan, apakah kepribadian kita bisa berubah? Hmm...

Dari hasil tes ini, aku bisa mengetahui juga pekerjaan yang sekiranya cocok buatku. Diantaranya polisi, tentara, hakim, politikus, pengacara, guru, manajer, akuntan, auditor, dan bankir. Ya, itu ada tulisan guru. Mungkin aku sudah berada di jalur yang tepat. Amin.

Nah, terus aku penasaran, dong. Dengan kepribadian ESTJ-T kira-kira aku cocoknya punya pasangan yang seperti apa? Eh, kebetulan di 16personalities ada tesnya. Langsung eksekusi dan hasilnya adalah ISFJ, si Pembela. Adeuh, si Eksekutif dan si Pembela. Perbedaannya di kata Introvert dan Feeling.

Kalau introvert secara garis besar aku paham, sehingga aku lebih tertarik membahas feeling. Secara garis besar aku setuju banget bahwa pelengkap thinking itu adalah feeling. Aku itu kalau mempertimbangkan pilihan atau membuat keputusan pasti menggunakan kepala. Apa-apa harus logis, dan jelas sebab akibatnya. Kadang tega, gak mikirin perasaan orang lain, karena semua harus sesuai dengan target dan berhasil. Dari penjelasan tersebut, tepat banget kalau aku dipasangkan dengan orang yang menggunakan hati (perasaan) ketika membuat keputusan atau menentukan pilihan.

Aku kutip penjelasannya, yang menurut aku ini AKU BANGET 😂

Ketika dihadapkan dengan sebuah keputusan, orang-orang dengan sifat Berpikir biasanya bersandar pada informasi yang objektif. Pengetahuan adalah alat mereka yang tak tergantikan. Begitu tipe kepribadian ini mengumpulkan fakta, mereka menguji alternatif mereka terhadap logika dan alasan untuk melihat keputusan mana, dengan standar tersebut, yang terbukti paling efektif atau realistis. Mereka umumnya mengelola hubungan mereka dengan menggunakan keadilan dan efektivitas sebagai metode utama mereka dalam berurusan dengan orang lain. Gairah mereka lahir dari rasa hormat. 

Jujur, ketika berhubungan dengan orang lain, aku kadang bingung untuk merespon emosional seseorang. Dulu aku pernah dihadapkan dengan situasi temanku kehilangan  hp-nya. Dia nangis menjadi-jadi, terus aku bilang, "makan aja, yuk!". Niat hati ingin mengalihkan perhatian, toh, untuk apa nangis berlama-lama, kan, HP-nya sudah hilang. Nah, teman yang lain malah nyolot, bilang aku enggak punya perasaan. Heu~

Aku sendiri terkadang bingung dengan emosi diri aku sendiri. Di satu sisi logis, tapi di sisi lain melankolis. Pas ayah dan kakak aku meninggal, pun, aku nangis menjadi-jadi. Padahal kalo secara logis, mungkin itu adalah jalan yang terbaik karena mereka sudah tidak merasakan sakit lagi. Tapi hati ini pedih sepedih-pedihnya. Begitu juga pas putus cinta, sedih tak berujung kayak orang gila. Padahal logis, tapi begitu masalah cinta bodoh. HAHAHAHAHA.

Yah,, begitulah hidup.

Semoga dengan lebih mengenal diri sendiri, kita bisa lebih meningkatkan kualitas dan bebenah diri. Dengan lebih mengenal diri sendiri, si Eksekutif pun bisa menemukan si Pembela.