Ratu Cumi's Choice

APA SAJA YANG HARUS DIPERSIAPKAN JIKA INGIN MEMULAI "DIVING"?

Diving , atau dalam bahasa Indonesia bisa disebut dengan menyelam, adalah salah satu olahraga yang masuk ke dalam kategori ekstrem. Dari sem...

Minggu, 24 Juni 2018

Tips Menulis Catatan Perjalanan Ala Ratucumi


Minat baca di Indonesia disebut masih rendah, yaitu menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara. Jangankan baca buku atau artikel, terkadang orang yang hobi banget pantengin media sosial aja lebih suka liat gambar atau videonya aja tanpa baca captionnya apa. Padahal beberapa orang-termasuk aku-memberi kekuatan pada gambar dan video melalui sebuah caption.

Aku dulu mungkin bagian dari mereka yang minat bacanya kurang. Akan tetapi pekerjaan aku menuntut aku untuk harus suka baca. Hukum alamnya menjadi seorang penulis, ya, harus suka baca. Surat kabar yang tadinya cuma diliat judul dan fotonya aja, sekarang aku telan bulat-bulat kumpulan huruf yang ada.

Pun, dalam Islam wahyu pertama dimulai dengan perintah Iqra (bacalah).

Tulisan itu menjadi penting jika disandingkan dengan sebuah gambar. Apalagi jika terkait dengan sebuah perjalanan.

Dalam dunia jurnalistik, catatan perjalanan merupakan bagian dari feature. Ceritanya tidak akan habis tergerus waktu dan akan tetap menarik untuk dibaca hingga kapanpun. Gaya tulisannya bisa dengan bahasa yang berbunga-bunga, menggunakan aneka majas, dan hal-hal lain yang bisa merepresentasikan suasana hati.

Saat ini catatan perjalanan sudah mulai tidak diminati semenjak adanya video perjalanan. Tapi satu hal yang tidak bisa tergantikan adalah kelengkapan informasi dari sebuah perjalanan dan sudut pandang si penulis yang bisa membawa pembaca seolah-olah menjadi sosok utamanya. Kita pun tidak akan mengetahui tentang Jalan Sutera jika Marco Polo tidak mengisahkannya dalam sebuah catatan perjalanan.

Nah, salah satu kesulitan utama menulis catatan perjalanan adalah memulainya. Ya, awal sebuah penulisan memang sangat sulit. Tapi untuk mempermudah teman-teman bisa memulai dengan memaparkan apa yang teman-teman lihat ketika pertama kali memulai perjalanan.

Misal:
Dari balik kaca jendela mobil yang aku tumpangi aku sudah bisa melihat kegagahan Gunung Merapi. Gunung yang sempat batuk beberapa tahun silam yang ....

Berikan info singkat tentang destinasi yang kita datangi. Karena sesungguhnya pembaca sangat menyukai jika apa yang dibaca bisa memberikan informasi tambahan untuk kehidupannya.

Mulai tinggalkan membuat catatan perjalanan seperti buku diary. Karena sejujurnya bukan kegiatan sehari-hari yang ingin diketahui oleh pembaca. Bisa hasilkan sebua tulisan yang mengandung asa dan rasa. Biasanya ketika kita memiliki emosi tersendiri dari suatu perjalanan dan kita tuangkan itu semua dalam sebuah tulisan, pembaca akan merasakan setitik emosi yang kita rasakan.        

Jika ingin memasukan info tentang transportasi, harga, kontak, akan lebih baik dibuat di luar tulisan. Bisa dibubuhkan setelah tulisan berakhir.

Sebuah catatan perjalanan akan menjadi lebih menarik jika disertai dengan foto. Karena ketika membaca sebuah catatan perjalanan, pembaca akan berimajinasi dengan bacaannya. Foto akan memandu imajinasi tersebut.

Tips:
  1. Jangan ragu untuk mulai tulisan. Tulis saja dulu apa yang kita mau tulis. Tak mengapa jika ada tahap selanjutnya untuk memperbaiki tulisan  kita sebelum di publish di blog masing-masing. 
  2. Baca ulang tulisan kita. Untuk mencegah apakah tulisan kita nyambung atau tidak, dan mengecek ada typo atau tidak.
  3. Banyak baca. Kita tidak akan menghasilkan tulisan yang baik jika kita tidak suka membaca. Dari membaca beragam buku, kita akan mendapat banyak referensi untuk gaya bahasa dan penulisan.
  4. Ketika mengunjungi suatu destinasi, sempatkan mengobrol dengan orang sekitar.
  5. Hasilkan tulisan yang setidaknya kamu juga ingin baca, karena tulisanmu busa menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan.

Sebuah quotes mengatakan,
"Writing is underestimated art, you are painting colorful images in people minds bu using words of black and white."

Selamat menulis!

Kamis, 21 Juni 2018

Membunuh Sepi

Ketika yang ada pergi, mungkin akan tercipta sepi.
Namun, apa harus terjebak dengan rasa sepi?
Sepi itu hanya rasa yang diciptakan oleh diri sendiri.

Lautan pun sesaat memiliki riak ombak memecah ketenangan.
Hutan pun memiliki gemuruh angin untuk mengusik keheningan.
Manusia pun memiliki asa untuk beranjak pergi dari kesepian.

-21 Juni 2018-

Rabu, 20 Juni 2018

Perjalanan (Di) 30 Tahun





30 September 2016, aku berusia 30 tahun.

Beberapa saat sebelum aku menginjak usia ini aku galau parah.

Kenapa?

Yang pertama, sih, jelas di umur segini teman-temanku yang lain sudah pada gendong anak. Ada yang udah gendong dua malahan. Aku? Ketika buka mata masih sendirian  dan berada di dalam kosanku yang berantakan di Kebon Jeruk.

Kedua, tidak ada kebaharuan dalam kehidupanku. Masih sama saja dengan kehidupanku saat aku berusia 29. Masih jadi wartawan di media anak-anak. Masih bangun siang. Masih (saat itu) pacaran dengan dia yang entah ke mana arahnya. Singkatnya, semua terasa MONOTON.

Ketiga. Bagi perempuan 30 tahun itu krusial. Lagi ranum-ranumnya. Segala kerasa. Mudah letih, lelah, lesu, bahkan adrenalin yang menggebu-gebu pun mulai terkikis. Harus nyaman dan segala teratur dengan baik. Yang paling parah, konon metabolisme tubuh pun sudah mulai lambat. Yang artinya, akan makin sulit untuk membakar lemak.

No. No. No.
Saat itu aku ingin mematahkan dan mengubur dalam-dalam perasaan galau ini. Aku enggak mau menjadi (semakin) tua dengan beragam keluhan yang tak pasti.

Maka:

"Aku pas ulang tahun mau naik gunung!" Ujarku kepada si pacar (saat itu).
"Ke mana?"
"Lawu."
"Oke."

Terucap begitu saja, karena baru liat tentang Lawu di IG. Aku segera mengumpulkan pasukan dan membentuk grup WA "Gunung Lawu".

Ya, seimpulsif itu dan segerak cepat itu. Langsung cari tiket kereta api. Siapin perlengkapan. Latihan fisik. Cerewet di grup wasap biar orang-orang juga siapin fisik dan peralatannya.

Dan tanggal 30 September 2016 pun aku berada di kereta api menuju Madiun. Tepat pukul 12 malam, pergantian malam ke tanggal 1 Oktober, aku tiup lilin bersama temenku si Puput. Ya, kami lahir cuma beda sehari hahaha.

Saat itu titik kumpul kami di Madiun. Kebetulan salah satu temanku lagi tugas di Madiun. Kita kumpul di rumahnya kemudian kita road trip ke Cemoro Sewu.


Tim kami sembilan orang saat itu, empat laki-laki dan lima perempuan. Setelah memastikan semua peralatan lengkap, dan perijinan beres diurus, pendakian pun dimulai.

Medan Gunung Lawu berbatu, mengingatkanku dengan jalur pendakian Taman Nasional Gunung Gede Pangrago via Cibodas. Tracknya panjaaaaaang banget.

Jam 12 kita tertib istirahat makan siang (padahal pos 1 aja belum). Kita istirahat di salah satu bidang lapang dan ada pos di sana. Entah pos apa, ada ibu-ibu dagang gorengan di gembolan.

Kita pun bongkar makan siang. Bahkan pasang hammock segala. Abis makan leyeh-leyeh sejenak sambil hammock-an. Cuaca panas banget saat itu, makannya hammock-an di bawah pohon rasanya enggak bisa dibiarkan begitu saja.

Setelah semua siap kita kembali mendaki. Saat itu salah satu teman perempuanku mulai kelelahan. Dia berjalan mulai lambat di belakang. Tapi tak masalah. Tak ada yang dikejar yang penting semua sehat dan selamat.

Aku dan ketiga teman perempuanku jalan cukup cepat sambil ngobrol haha hihi. Gak lama si Puput menyusul dan jalan bersama kami. Lambat laun cuaca berubah. Yang tadinya panas terik tak tertandingi menjadi mendung kelabu. Tak diragukan, hujan akan segera turun.

Benar saja, belum tiba di pos 2, hujan turun sangat deras. Aku lupa kejadiannya bagaimana tetiba kami terpisah-pisah. Temanku dua di depan. Aku sendiri di tengah. Dan sisanya di belakangku.

Aku tuh ragu jalan maju sendirian atau tunggu teman (yang cukup jauh di belakang). Akhirnya aku diam di bawah hujan sendirian. Setelah aku melihat jas hujan temanku samar-samar di belakang. Aku langsung maju jalan.

Hujannya enggak ramah. Rintiknya enggak romantis. Pake angin segala. Kacamataku berembun. Sulit rasanya aku berjalan. Dikit-dikit aku tengok temanku di belakang.
Alhamdulillah banget ternyata aku tidak jauh dari pos 2.

Banyak pendaki berteduh di sana. Penuuuuuuh banget. Aku melihat keberadaan dua temanku di sana. Kemudian satu persatu pun berkumpul. Namun, kelompokku kurang dua orang. Si temanku perempuan yang kelelahan dan pacarku (saat itu).

Sejam lebih tidak kunjung datang. Bahkan pendaki lain sudah tiba. Aku selalu bertanya keberadaan keduanya. Kata pendaki yang melihat, mereka sedang jalan pelan tapi cukup jauh. Beberapa saat kemudian mereka pun datang. Keadaan teman perempuanku menggigil kedinginan, mukanya pucat. Kami menggigil kedinginan dia dua kali lebih kedinginan. Untungnya pos cukup padat saat itu. Pendaki tumplek blek jadi satu, ada yang bikin air hangat lalu digilir untuk diminum.

Ini mengapa aku suka mendaki. Tak kenal tapi saling mengasihi. Semua teman. Semua kawan.

Hujan tidak main-main kala itu, jalur di hadapan kami jadi tampak seperti air terjun. Kami terjebak berjam-jam di sana. Tak bisa melanjutkan perjalanan. Beberapa tim memutuskan untuk kembali turun. Mustahil katanya.

Aku akhirnya bermusyawarah (kamana atuh bermusyawarah) dengan teman-temanku dan memutuskan untuk tetap menunggu badai berlalu dan melanjutkan perjalanan. Ya, target kami saat itu puncak. Aku mengatur strategi. Kami akan berjalan dua-dua, menggunakan buddy system. Membagi rata kekuatan yang ada. Dua orang yang bisa berjalan dengan cepat aku minta jalan di depan membawa tenda. Aku dan rekan-rekan yang berjalan pelan  tapi pasti di tengah. Temanku yang kelelahan berjalan di paling belakang. Tenang, dia tidak jalan sendirian. Dia jalan bersama dia yang paling mumpuni di dalam tim ini. Yang dia adalah !#/))#*^#@*(@*@/@€(@) (maaf sinyal hilang).

Tak lama berjalan kami tiba di pos 3. Hujan sudah berhenti tapi dingin tak tertahankan. Bergerak cepat bangun tenda dan memasak makan malam. Salah satu temanku tiba-tiba terdiam saat itu. Aku pikir dia kesurupan! Soalnya dia melepas genggamannya yang lagi memegang tiang tenda.

“Wan, are you oke?” tanyaku.
Dia balik badan sambil bilang, “gue kedinginan, Mel.”

Air belum masak, Ridwan kedinginan. Aku bingung. Teman-teman sibuk bikin tenda. Tapi tenang, aku bingungnya gak kelamaan. Aku peluk tuh si Ridwan. Tangannya gue genggam terus digosok-gosok sampe anget. Alhamdulillah banget, nih, si Ridwan gak lama skip-nya. Dia mulai hangat dan bisa bikin tenda lagi.

Enggak lama rombongan terakhir datang. Temanku yang kelelahan segera diminta ganti baju. Menghangatkan diri. Aku masak sayuran berkuah saat itu. Hangat dan nikmat. Kata orang-orang enak. Entah karena lapar atau emang gak ada makanan lagi itu ya hahahaha.

Ketika aku mau istirahat, aku selalu mendengar ada pendaki lewat. Banyaaaaaaaaaaaaaaak banget gak berhenti-berhenti. Katanya malam itu malam satu suro. Banyak orang datang ke puncak Gunung Lawu untuk melakukan ritual mandi di Sendang Drajat.

Pas aku kebelet pipis, aku keluar tenda sama temanku. Pas balik aku liat ada bapak-bapak pake baju serba putih lagi diem di ujung kumpulan tenda rombongan kami. Aku bilang ke temanku mereka ngeliat apa enggak. Mereka bilang mereka liat, jadi yaudah didiemin aja. Toh, enggak ganggu juga. Kami pun tertidur.

Kami semua bangun siang kelelahan. Gak ada yang pingin buru-buru ke puncak saat itu. Lagian di puncak rame orang malam satu suro-an. Kami pun memutuskan jam 9 baru muncak.

Rencana awal kami akan turun via Cemoro Kandang. Tapi melihat temanku yang sudah kelelahan dan gak sanggup jalan lagi, kami pun memutuskan kembali lewat Cemoro Sewu. Walau temanku sudah pulih dari kelelahan, tapi dia memutuskan tidak ikut ke puncak dan diam di camp.

Kami ke puncak berdelapan. Jalan dua-dua, pelan tapi pasti, rapih jali, foto sana, foto sini. Aku lupa tepatnya jam berapa, tapi kayaknya sebelum jam 12 sudah tiba di puncak.

Aku bersyukur saat itu. Aku di umur aku yang sudah 30 tahun, badan gendut, rambut bau tapi ketek tetep wangi, berhasil berdiri di 3265 mdpl. Puncak ke-12.

Setelah sampai di puncak, target pun berubah. Pulang ke rumah dengan selamat. 

Hujan mulai rintik. Tak langsung menuju pos 3 kami makan pecel dulu dooong di Mbok Yem. Warung pecel tertinggi kayaknya, nih. Penuuuuuh banget warung pecelnya. Pas lagi ngantri pecel, ujan deres lagi, dong. Semua numplek blek lagi di warung ini. Dingin, cape, untungnya perut kenyang. Begitu hujan reda sedikit kita pun tancap gas ke pos 3.

Sampai pos 3 segera packing. Cuaca tak bersabat. Kabut, gelap, dingin. Hujan akan kembali turun saat itu. Aku selesai packing duluan. Aku mengajak teman perempuanku yang lelah untuk jalan duluan pelan-pelan. Sayangnya dia memutuskan untuk memakai sendal gunung, berikut kaos kakinya dibungkus lagi pake plastik. Ini sangat amat tidak disarankan karena pasti licin. Apalagi hujan akan turun kembali. Udah dikasih tau keukeuh, yasudah.


Aku bilang untuk perhatikan langkah kakiku. Ikutin. Aku akan jalan pelan-pelan. Maka jalanlah aku. Karena aku fokus banget turun sambil ngomong cara turun yang bener, aku lupa nengok belakang. Ada kali 15 menit aku ngomong, pas nengok orangnya gak ada. Ketinggalan hahahhaa. Jadi ceritanya aku sendirian lagi, nih, di tengah hutan belantara. Ngeri ngeri sedap, nih. Kabut pula. Jujur aku ketakutan. Pake banget. Untungnya, gak lama Puput dateng nyusul aku. Emang, dia mah buddy system yang pas mantab banget.

Teman-teman aku yang lain pun turun cepat ke pos 2. Tinggal teman perempuanku itu yang belum tiba. Akhirnya diputuskan kami lanjut jalan, karena sudah jam 5 sore. Kami ngejar kereta pulang jam 10 malam. Tenang, temanku bersama expert, kok. Makannya kami berani tinggal.

Turun cepat tanpa rem. Break sebentar di kala maghrib. Kemudian hujan deras pun turun lagi, lagi, dan lagi. Mana aku kebelet boker pula. Tapi takut buat boker sembarangan, gara-gara temenku si Ajeng ngeliat hal-hal aneh melulu. Aku udah bilang kalo liat hal aneh jangan dianggep. Aku sih gak bisa liat apa-apa, kacamata aku berembun parah. Aku cuma bisa liat cahaya senterku, kaki temanku, dan senternya si Puput. Aku udah kebelet banget, tapi kata Puput tahan aja dulu sampe ke base camp. Yaudah dehhhhhh lanjuuuut. Akhirnya jam 19.00 aku bisa boker dengan bersahaja di base camp.

Nyampe di warung soto, beberapa temanku udah ada yang tancap gas balik duluan ke Madiun. Mereka ngejar kereta jam 9 malam. Aku masih santai karena keretaku jam 10 malam. Makan soto dulu lah.. Saat itu sisa aku, Puput, Ajeng. Kami nunggu rombongan terakhir.

Jam 20.30 mereka belum juga dateng. OMG!! Aku mulai panik nih, Puput sama Ajeng aku suruh balik ke Madiun duluan, karena takut ketinggalan kereta. Tapi mereka gak mau. Mereka mau nunggu rombongan terakhir. Aku atur strategi sama Puput, soalnya kita mulai panik. Rombongan terakhir gak dateng-dateng. Jam 21.30 kami pasrah dengan tiket kereta dam mulai mencari ojek buat ngejemput teman kami ke atas. Tapi kemudian kami sadar entah di mana mereka berada. Kami pun harap-harap cemas. Kita tunggu sampai jam 11 malam, kalau belum ada tanda-tanda kemungkinan akan kami cari.

Alhamdulillah banget, nih, jam 22.30 mereka pun tiba. Teman perempuanku itu pucat pasi. Segera dikasih soto ayam dan teh anget biar gak pucet lagi. Dia cerita banyak hal yang nyata dan “nyata”. Lumayan bikin bulu kuduk berdiri. Alhamdulillah dijagain bisa sampe turun ke basecamp.

Lalu pulangnya gimana? Tiket keretanya, kan, udah hangus.

Jangan kayak orang susah, kita beli tiket lagi. Lebih tepatnya dibeliin sama temanku, sebagai rasa terima kasih. Alhamdulillah rejeki anak soleh.

Selalu seru dan banyak cerita di setiap pendakian. Mungkin kalau aku tidak hobi mendaki, aku tidak punya cerita yang bisa aku tulis atau aku ceritakan tentang ulang tahunku yang ke-30 ini.

Kamis, 08 Februari 2018

Perjalanan Juga Tentang Rasa Bersama Logika

Perjalanan bukan melulu destinasi. Perjalanan juga bisa tentang rasa.
Tapi jika sudah berbicara tentang rasa tak jauh dari yang namanya cinta.

Aku yakin semua orang pernah jatuh cinta. Aku, pun.
Jatuh cinta itu identik dengan bahagia. Bagaimana tidak? Dua insan saling berbagi rasa seolah dunia hanya milik berdua. Rasanya asal sama si dia, makan ketoprak berdua di pengkolan jalan juga rasanya udah kaya di hotel bintang lima. Kentut yang bau telur busuk aja udah kaya wangi melatinya suketi. Mau kepanasan, kehujanan, kedinginan, kelaperan, juga rasanya asyik-asyik aja asalkan sama si dia.

Iya, kayak orang bego, ya. Nanti baru nyadar bego kalo cinta udah terlalu lama bersemi. Bunga-bunga asmara pun mulai berubah jadi kaktus dengan datangnya sebuah logika.

Apa aku salah satu bagian dari golongan bego ini?
Tentu saja, namanya juga dibutakan oleh cinta. Diajak jalan kaki dari Kota ke Sunda Kelapa aja udah berasa diajak jalan di red carpet.

HAHAHAHHAHA

Kenapa kok bisa bego? Karena menurut aku cinta itu sakral. Cinta itu bukan main-mainan, karena melibatkan perasaan. Buat aku pribadi menata perasaan itu sulit, karena aku ini bukan orang yang besar dengan perasaan menyek-menyek. Aku dibesarkan untuk menjadi perempuan mandiri, setrong, dan kuat.  Jatuh cinta itu menurut aku hal yang hanya akan membuat diri ini disesaki oleh berbagai masalah, problematika, dan dilema. Menurut aku, kehidupan itu sudah banyak yang harus diurus, sementara cinta itu hanya menghambat. Sehingga sulit rasanya aku untuk jatuh cinta.

Akan tetapi, sampailah pada suatu hari aku jatuh cinta kepada seseorang. Di depan orang ini, aku seolah menunjukkan aku ini lemah kaya benang jait, bukan lagi aku jadi benang layangan yang siap diadu buat menang. Iya sekalinya jatuh cinta seserius itu aku. (geuleuh nya, tapi da emang kitu!)

Awal mula pacaran itu, biar kata diajak susah, rasanya, ya, indah-indah aja. Padahal teman-teman sudah mengingatkan, lebih baik nangis di dalam BMW daripada nangis di Bajaj. Yah, namanya juga lagi jatuh cinta, rasanya susah senang tanggung bersama.

Tapi yang dilupakan oleh dua insan yang sedang jatuh cinta itu adalah cinta itu berevolusi.

Seorang ahli pernah berkata:

"Cinta akan terus berubah, bertumbuh, dan berkembang berkembang, dan berevolusi. Seiring berjalannya waktu, cinta yang awalnya menggebu menjadi semakin matang dan mendalam di hati. Di sinilah proses pendekatan menjadi penting, kita melakukan perkenalan karakter hingga visi dan misi. Selain itu kita juga harus yakin bahwa masing-masing mempunyai cinta yang besar untuk menyempurnakan hubungan."

Ketika menjalin hubungan dengan seseorang pasti kita punya tujuan, dong. Kalau kata lagu, sih, "mau dibawa ke mana hubungan kita~~~~".
Aku dari awal jatuh cinta sudah menetapkan dalam hati kalau apa yang aku jalani saat itu seserius aku sedang menapaki masa depan. Udah gak ada lagi, tuh, mikirin melanglang buana sendirian, yang dipikirin, ya, berdua. Apalagi kalau si doi udah ngomongin masalah pernikahan.

Ketika hubungan sudah melangkah ke arena yang lebih serius, biasanya visi dan misi mulai berkelok. Perempuan-aku, sih, entah kamu- ingin sebuah kepastian. Secinta-cintanya sama makhluk ciptaan Alloh S.W.T yang berjenis laki-laki, kan nanti kita gak akan kenyang sama cinta, dong? Bayar bulanan, biaya rumah sakit, melahirkan, pendidikan, dan lain sebagainya juga, kan, gak bisa dibayar oleh cinta. Ketika sudah sampai saat ini, cinta mulai bersinggungan dengan yang namanya logika. Jika ini terjadi, udah enggak bisa deh nafas buat diri sendiri, nafas itu harus berdua. Kita harus menyempurnakan hubungan.

Tapi apa pasanganku memikirkan hal yang sama? Jauh ke depan? Ternyata enggak. Kalo dipikiran dia, jalanin aja dulu, nanti juga ada jalannya (Dikatakan olehnya, yang berdiri di atas kaki sendiri saja belum mumpuni). Nah, loh. Saat orangtua kita sendiri menginginkan anaknya untuk hidup bahagia, pasangan kita sendiri belum tahu jika hidup bersama akan tinggal di mana.

Sebenarnya perbedaan visi dan misi ini bisa dibicarakan, tapi jika memang sudah tidak sejalan mau bagaimana? Mengucapkan kata tak semudah merealisasikannya. Aku pribadi, sih, merasa diberikan janji semu aja.

Di sini mulailah aku merasa aku jatuh cinta dengan orang yang salah.
Ibarat aku sudah membagi nafas aku untuk dia tapi dia hanya bernafas untuk diri dia sendiri.
Cinta yang dimiliki ternyata  tidak sama besar untuk menyempurnakan cinta.

Patah hati? Banget.
Mana ada yang mau kisah cinta berakhir dengan tidak bahagia. Apalagi untuk orang seperti aku yang sulit menata perasaan.
Bagaimana dengan si laki-laki?
Jelas dia mah gak mikirin hal remeh temeh kayak gini, karena, ya, itulah laki-laki. Patah hati enggak, malah merasa bebas merdeka. Mau pacaran bertahun-tahun juga gak akan diambil hati.

HAHAHAHAHA...
Kesian...

Yah, tapi kan kalau gak pernah kaya gini kita gak akan nyampe kepada pemikiran seperti ini bukan? Sebuah perjalanan rasa penuh cinta yang berakhir dengan logika.