Ratu Cumi's Choice

APA SAJA YANG HARUS DIPERSIAPKAN JIKA INGIN MEMULAI "DIVING"?

Diving , atau dalam bahasa Indonesia bisa disebut dengan menyelam, adalah salah satu olahraga yang masuk ke dalam kategori ekstrem. Dari sem...

Kamis, 11 April 2019

Ketinggalan Pesawat Untuk Wisuda di Sumbing


Tahun lalu aku hampir drop out dari Universitas Indonesia (UI) gegara kelamaan ngerjain thesis. Sumpah, S2 aku sama lama kaya S1. Rasa malas ngerjain thesis, menunda-nunda, malas pulang-pergi Kebon Jeruk-Depok membuat progress thesis berjalan lambat. Tiba-tiba, hanya tersisa 3 bulan untuk menyelesaikan penelitian, rekap data, bikin bab 4, bab 5, sidang seminar, dan sidang thesis. Mampus, enggak, tuh?

Ada satu titik aku merasa ini semua enggak akan berhasil. Sempet, dong, aku telepon temen aku sambil nangis dan bilang, "I CAN'T MAKE IT!!" Tapi untungnya temen aku itu cukup membantu dan menenangkan, sehingga ke-drama-an ini bisa ditunda dan kembali mengerjakan serta memperjuangkan apa yang harus diselesaikan.

Satu sisi aku merasa depresi, tapi di sisi lain aku enggak bisa kalau memutuskan untuk menyerah. Ketika mulai putus asa, aku selalu ingat niat awal mengapa aku mengambil studi ini dan ingat mama  yang mungkin menitik sebuah harapan kepadaku. Untuk mengantisipasi munculnya rasa kecewa, aku sempat bertanya kepada mama, "Kalau ade enggak lulus gimana, Ma?" Saat itu jawabannya cukup menenangkan, "Ya, sudah, enggak apa-apa yang penting sudah usaha."

Akhirnya aku benar-benar coba semampunya. Dengan segala kemampuan yang ada, aku selesaikan satu-satu hingga akhirnya aku pun dinyatakan tidak lulus sidang thesis :'(

Sedih? Pasti. Drop? Pasti. Tapi enggak lama-lama, soalnya aku dikasih waktu 10 hari untuk merevisi thesis agar bisa lulus. Yang namanya banting tulang, tuh, aku representasikan di masa-masa ini. Apapun yang terjadi pokoknya harus bisa selesai sesuai tenggat waktu yang diberikan. Tapi apa yang terjadi? Aku berhasil menyelesaikan, namun melewati batas waktu yang ditentukan. :(

Kacau, deh, pokoknya. Aku melewati hari demi hari menuju pengumuman kelulusan dengan perasaan tidak menentu. Resah, gelisah, seperti dikejar sesuatu tapi enggak keliatan sesuatunya itu apa.

Hingga akhirnya, saat aku cek Web UI, ada pengumuman:





Waktu itu aku langsung teriak bahagia, mengucap syukur, dan menyebar kabar kepada pihak-pihak yang selama ini memberi bantuan, dukungan, semangat, serta menunggu kabar kapan aku lulus (tentunya selain kabar kapan aku nikah hahahaha)

Perasaan bahagia ini tuh, enggak bisa dibendung lagi. Rasanya puas, lega, MERDEKA!!!!!!!!!!

Begitu toga ada di dalam genggaman, maka akupun segera merencanakan pendakian dalam rangka merayakan kelulusan. Pilihannya jatuh ke Gunung Sumbing. Segeralah aku beli tiket pesawat Jakarta-Yogyakarta (PP) perjalanan pun dilakukan tanggal 16 Agustus 2018.

Waktu itu aku ikut open trip yang dibikin sama temen aku yang namanya Docae. Ini trip termewah yang pernah aku ikutin. Pokoknya cukup bawa badan dan perlengkapan pribadi. Pokoknya hike like a princess banget!

Hari H pun datang. Lantas apa yang terjadi? AKU KETINGGALAN PESAWAT, DONG!
Wah, geblek banget, deh! Aku, tuh, kayaknya emang dikutuk selalu terburu-buru dan menunda-nunda. Aku nyampe bandara, pesawat udah siap take off!

"Mba, enggak bisa disuruh tunggu aja? Saya lari, deh, ke landasan!"
Anak sultan kali, ah, minta pesawat nungguin. Tentu saja permintaan enggak masuk akal ini ditolak mentah-mentah sama petugasnya.

Udah, mah, gerah banget, lari-lari, bawa kerir, style udah anak gunung banget, eh, ketinggalan pesawat!

Nyerah? Enggak! Gengsi, karena sebelum berangkat aku bikin vlog perdana tentang packing peralatan pendakian dalam rangka mau naik Gunung Sumbing (HAHAHAHHA MAKAN TUH GENGSI)

Gue pergi dari terminal ke terminal di Cengkareng untuk mencari maskapai yang available. Semua full karena long weekend. Adanya Garuda, tapi tiketnya 4 juta! Gila, bukan anak sultan akutu sampe harus beli tiket pesawat 4 juta cuma buat naik Gunung Sumbing.

Akhirnya aku telepon temenku, "BANG KALAU GUE BELI TIKET 4 JUTA BUAT KE SANA, POKOKNYA, LU, MUSTI BAWA GUE KE PUNCAK BUAT FOTO PAKE TOGA!"


Dia ketawa sambil meng-iya-kan, pokoknya yang penting aku nyampe dulu ke Yogya. Lalu apa aku beli tiket 4 juta? ENGGAK, LAH! Gila kali. Masih menggunakan akal sehat aku beli tiket Garuda (seharga 1 jutaan :'( ) ke arah Solo, kemudian dari bandara solo naik Gojek ke stasiun dan lanjut ke Jogja naik kereta. Yah, lumayan, lah, daripada 4 juta!

Singkat cerita, aku berhasil kumpul bersama tim. AKHIRNYAAA!

Kami naik dari jalur Garung. Menuju pos 1 naik ojek. Ini ojek bukan sembarang ojek, karena kita naiknya di depan, bo! Ini enggak aman-aman banget, sih, motor aku aja sempet tabrakan sama motor yang lagi turun. Emang ada aja ya kisah di hidup akutu... (Video naik ojek bisa klik ini!)

Menu pertama pendakian mirip-mirip sama Sindoro. Aku bergerak lambat seperti biasa hahaha. Gegabah emang enggak pake latihan fisik. Apalagi waktu lewat engkol-engkolan! Beuh!!!! Mana pas lagi mendaki lagi musim kemarau, debunya mana tahaaaaaaaaan~~~~~

Enggak lama mendaki, eh, udah nyampe di Pos 3. Kayaknya sekitar jam 1 apa jam 2, gitu, lupa. Leyeh-leyeh, dah, tuh. Makan siang, makan buah, bobo siang, rumpi siang, tawa-tiwi.
 Ketawanya enggak beres-beres, gegara ternyata celana aku sobek, dong! Mana celana dalem akutu warnanya tosca mentereng, wah, jadi banget bahan becandaan. Entah nyangkut di mana ampe bisa sobek kayak gini, kepaksa, deh, jahit celana, ditemani sunset yang indah banget berlatar Gunung Sindoro. Mantep.

Besok paginya kita summit attack, buset, dah, loyo banget! Jalan sepetak-petak kayak siput. mana jalurnya pasir empuk kaya punya Semeru. Heu heu heu...

Nyampe puncak? Enggak! AHHAHAAHAHAHHAHA

FOTO MESRA ALA-ALA SAMA SI AWAN
Gila, capek banget! Waktu itu aku bilang ke si Awan (my buddy system), "Wan kayaknya enggak akan sempet, nih, kalo ke puncak. Udah capek banget juga, di sini aja, deh, foto pake toga-nya."

Iya, waktu itu bukan puncak targetnya, tapi foto pake toga di gunung HAHAHAHAHHAHA. (MY TRIP, MY RULES!)

ADA YANG MINTA FOTO BARENG!

Iya, karena enggak tau pasti jadwal, aku tuh beli tiket pesawat di hari yang sama dengan aku turun gunung. Jadi enggak bisa santai-santai. Semuanya diburu waktu.

Kira-kira aku sempet ngejar pesawat pulang,  enggak?

TENTU AJA, ENGGAK!



Lagi-lagi aku tiba di bandara saat pesawat udah siap take off. Krik krik krik...
Akhirnya, aku pulang keesokan harinya naik kereta.

APESSSSS!!!!!!!

Nilai moral yang bisa diambil dari cerita ini adalah: PENTINGNYA MANAJEMEN WAKTU DALAM KEHIDUPAN.

Kamis, 04 April 2019

Dipermainkan Babi di Sindoro

Lagi Nungguin Diera




Mari kita mulai tulisan ini dengan menyebut nama Diera. Ya, si Diera ini sobat misqueenque yang tiba-tiba kasih kabar dia mau naik Gunung Sindoro (kejadiannya Maret, 2018). Selain kasih kabar, dia juga berniat untuk menyewa peralatan kampingku (iya, FYI, aja, nih, akutu nyewain peralatan kamping dengan harga bersahabat, hohoho).


Pas dengar kabar ini, aku pengin ikut. Tapi, aku (saat itu) lagi dikejar deadline thesis yang sudah di ujung Drop Out, hehehe. Sehingga yang aku bisa lakukan hanyalah memastikan peralatan Diera lengkap dan dia pergi dengan teman-temannya yang sudah biasa naik gunung-berpengalaman.

Eh, enggak lama, datang kabar lanjutan bahwa ketua kelompoknya, yang mana yang paling berpengalaman, batal ikut. Tapi karena timnya Diera udah siap berangkat, mereka akan tetap berangkat. Si Diera ini bilang, "Santai aja, gue, kan, anak gunung." Hmmmm....

Entah kenapa gara-gara Diera bilang gitu, setiba-tiba aku memutuskan untuk ikut. Aku langsung buka aplikasi pembelian tiket, dan aku beli tiket pesawat saat itu juga. Iya, tiket pesawat, lho, demi pergi sama Diera. Aku pun memberi dia beberapa list perlengkapan yang harus dibawa dan aku minta itinerary yang sudah dibuat oleh tim.

Singkat kata, pesawat aku tiba di Jogja. Aku dan rombongan Diera janjian di Malioboro. Aku tiba duluan, dan memutuskan sarapan di restoran cepat saji berlambang huruf M. Enggak lama, rombongan Diera datang. Dari hasil berbagi cerita, teman-teman ini tidak begitu sering naik gunung.

Saat cek list perlengkapan, ada yang enggak bawa matras dan begitupun flysheet-yang mana ini adalah peralatan kelompok. Sehingga kami pun berkeliling terlebih dahulu mencari tempat penyewaan untuk melengkapi perlengkapan. Menyambangi satu-dua tempat gagal, aku lupa alasannya apa. Waktu semakin siang, sehingga banyak yang bilang enggak usah bawa flysheet. Tapi aku keukeuh kita harus bawa. Feeling aja ini, mah.

Akhirnya kita dapat di salah satu tempat yang baru buka jam 9. Kami pun melengkapi perlengkapan, sarapan, dan tancap gas menuju basecamp Sindoro di daerah Kledung, Temanggung, Jawa Tengah. Waktu tempuh 3 jam, sehingga sekitar jam 12 siang kita sampai di tempat tujuan. Packing ulang barang bawaan, isoma, pesan ojek, titip barang yang enggak akan dibawa, sehingga perjalanan pun baru mulai pukul 14.00 WIB.

Menuju Pos 1 Gunung Sindoro ada dua cara, naik ojek dengan ongkos Rp25.000 dan trek yang yahud, atau jalan santai sekitar 2 jam. Ya, kami, sih, memilih naik ojek, lah, ya... Mayan, diantar sampai warung yang berada di antara Pos 1 dan Pos 2.

Waktu naik ojek cerah. Turun dari ojek juga cerah. Pas berdoa mau mulai pendakian mulai mendung. Baru jalan 5 menit hujan. Bongkar tas dulu, deh, buat pakai jas hujan kresek. Duh, hujannya enggak tanggung-tanggung, deres, bo! Mana trek Sindoro ini baru mulai langsung nanjak, air terjun mini pun tercipta sepanjang jalur. (Klik buat liat videonya)

Aku yang pergi tanpa latihan fisik ini terseok-seok di langkah pertama. Kaya mesin  mobil butut yang belum panas gitu. Hahehoh, deh, pokoknya. Tapi si Diera ini menjadi buddy system, katanya, "Santai aja, Mel, gue tungguin." Kami terpisah dengan rombongan yang jalan dengan sangat lincah. Tak apalah. Eh, enggak lama pas mesin udah lama, "Tungguin gue, Mel!" Hahahahaha... memang kita, tuh, saling melengkapi.

Pos demi pos dilewati, hujan pun tak kunjung henti. Dingin, kabut, basah, capek, lelah. Saat bertemu di satu titik (aku lupa di mana) kami memutuskan untuk mendirikan tenda di Pos 3 dan berhenti kalau sudah tiba waktu maghrib. Tenda dibawa oleh dua orang, satu dibawa tim yang berjalan di depan dan satu lagi dibawa Diera. Pokoknya begitu sampai, yang pertama harus dilakukan adalah membuat tenda.

Hujan deras pun sempat berganti dengan gerimis ketika hampir sampai Pos 3. Aku sempat mengucap syukur, tapi di dalam hati ini rasanya udah enggak karuan, Diera pun sudah terlihat lelah. Ketika maghrib tiba aku dan Diera pun beristirahat di jalur. Nampaknya kami pendaki terakhir, karena selama perjalanan tidak ada yang menyusul kami. Untungnya letak Pos 3 tak lama dari tempat kami beristirahat.

Begitu sampai, teman-teman sedang mendirikan tenda, hujan mulai turun lagi. Tapi, nih, mereka mendirikan tenda di tempat miring, dan layer dalemnya dulu tanpa ditutupi si layer luarnya. Kan, lagi hujan, ya, basah cyin tendanya. Cepat-cepat revisi dan cari bidang datar. Karena kita rombongan terakhir, kita kebagian lapak paling ujung, enggak ada pohon yang bisa diikat flysheet, dan tanahnya keras banget. Susah buat pasang pasak.

Hujan turun makin menjadi-jadi, tenda belum jadi. Duh, aku sampai putus asa dan nangis. Kalau tenda gagal berdiri, bisa gawat banget. Akhirnya pasak ditanem seadanya. Flysheet pun dipasang seadanya-disangga oleh satu trekking pole punyaku. Bangun tenda dome yang biasanya cuma 15 menit pun jadi 1 jam lebih :'(.

Ini baru tendaku, belum lagi tendanya Diera. Diera pake tenda aku yang jenis tunnel, yang mana dua kali lebih ribet masangnya daripada tenda dome. Ni anak udah dibilangin sebelum berangkat latihan bikin tenda malah enggak dan ngegampangin. Alhasil kesulitan ngebangun tenda ini jadi lebih susah berkali-kali lipat.

Daripada kesal aku milih buat bikin makanan di tendaku yang reyot di bawah flysheet yang ringkih. Sangking ringkihnya, tiap kesenggol roboh :'( . Aku dibantu oleh salah seorang anggota tim, enggak usah repot-repot, deh, ya, masak mie instan aja dulu. Soalnya hujannya enggak santai, angin pun makin kencang. Mimpi buruk, deh, pokoknya.

Si teman yang membantu ini sedikit melamun, dia menuangkan air tanpa memegang misting. Apa yang terjadi selanjutnya? Misting pun tergelincir dari kompor, air yang dia tuangkan pun dengan suksesnya dituang ke sumbu kompor. KRIK KRIK KRIK KRIK KRIK. Dia cuma bisa teriak sambil bilang sori.

Kompor ini enggak butuh korek untuk menyalakan api. Tapi gara-gara dibanjur air jadi enggak bisa nyala. Semua korek api enggak bisa dipake karena udara lembab banget. Duh, Ya Alloh, pingin pulang rasanya. Untungnya di Pos 3 Sindoro ini ada warung, jadinya kita beli mie instan dari sana.

Beres makan, ganti baju, siap tidur. Tapi boro-boro bisa tidur, dingin banget. Laper. Salah seorang temanku pun terkena maag karena telat makan dan dia pun muntah *tepok jidad*. Kita enggak bisa keluar karena di luar masih hujan. Peralatan masak pun di luar tenda hanya ditutupi sekenanya. Terlalu lelah untuk bersih-bersih, sepertinya enggak ada yang peduli juga.

Dini hari hujan mulai reda, kami belum ada yang berhasil tidur. Bukannya tenang, kami makin panik, gangguan lain pun datang. Apa itu? Segerombolan BABI HUTAN! Mereka datang mengelilingi tenda kami. Huhuhuhu.

"Kak, Mel, gimana, nih?"
"Yaudah, gue usir, deh," sambil siap buka pintu tenda.

Tapi tiba-tiba kepikiran, gimana kalau babinya besar? Gimana nanti kalau aku liat-liatan sama babinya? Gimana kalau nanti babinya nyeruduk? Gimana kalau nanti babinya masuk ke tenda. Akhirnya keberanian pun berubah jadi rasa ciut. HAHAHAHA.

Kita hanya berani mengusir babi pake suara dari dalam tenda. Kita juga teriak-teriak ngebangunin si Diera, tapi cuma dijawab pakai suara ngorok yang enggak jauh beda sama suara babi. Si babi ini dengan senangnya mengobrak abrik dapur umum kami. Akhirnya kita memutuskan untuk cuek, tapi si babi ini bergerak memutari tenda. Badannya sering terasa di kaki ketika dia melewati tenda. huhuhuhu.

Serangan babi selesai, lalu kemudian hujan lagi. Huhuhu

"Fixed, aku, enggak akan muncak. Belum makan, belum tidur, belum istirahat, badai, kayaknya aku menyarankan kalian enggak muncak juga, tapi terserah kalau mau juga enggak apa-apa," kataku malam itu. Iya, niat aku untuk ke puncak sudah enggak ada. Aku hanya mau pulang. Mental sudah memble. Yang lain pun sepertinya sama.

Hujan terus berlanjut sampai pagi, keadaan diperburuk dengan air yang masuk ke dalam tenda. Kita duduk berdekatan menghindari air. Lalu kemudian apa yang terjadi? Tenda kami bergerak berputar secara perlahan (bayangkan putaran jalur larinya binatang hamster, seperti itu lah kira-kira). Pintu tenda naik sampai ke atas. Ukuran tenda pun jadi mengecil dan  bentuknya tidak beraturan.

Kami berteriak kepada Diera untuk melihat tenda kami, kami untuk bergerak pun sulit, karena tenda jadi mengecil. Ketika dia keluar, dia tertawa. Bentuk tenda lebih enggak karuan kalau dilihat dari luar. Kita jadi ikut tertawa prihatin. Pelan-pelan, dibantu Diera dari luar, kita bergerak agar tenda bisa kembali ke posisi semula. Fixed pasaknya udah pada lepas semalam.

Jam 6 hujan masih turun, jam 7, jam 8, dan akhirnya jam 9 hanyalah kabut yang tersisa, kami semua keluar dari tenda. Terkejut dengan peralatan kami yang porak poranda oleh babi, tenda yang tidak karuan, dan lelah yang belum terobati. Bukan hanya kami yang gagal ke puncak, hampir semua pendaki tidak ada yang naik.

Aku coba kembali menyalakan kompor dengan bantuan korek. Alhamdulillah banget bisa nyala lagi. Perbekalan pun dibongkar, masak, dan sarapan. Dengan segera kami pun berkemas untuk pulang, takut hujan turun lagi.

Perjalanan turun tidak begitu mengkhawatirkan walau hujan turun di tengah jalan. Rasanya aku bersyukur banget bisa kembali ke basecamp.

"Lu pulang bareng kita, kan, Mel?" kata Diera.
"Yoi, tapi gue gerbong executive," jawabku.
"Emang masih ada, ya, kok, kemarin gue liat udah habis?" tanya Diera.
"Ada, dooong, gue gitu, loh," jawab aku dengan bangga.

Lalu kami pun bergerak menuju stasiun kereta (aku lupa apa nama stasiunnya). Kami tiba malam hari jam 10-an, sementara kereta kami jam 1 pagi keesokan harinya. Si Diera, pas mau check in pake diketik segala nomer booking-nya. Lalu aku bilang, "Yaelah, Dir, di scan aja kali," seraya aku scan barcode-nya.

Lalu apa yang terjadi?
Muncul tulisan:
MAAF, ANDA SUDAH TIDAK BISA MENCETAK TIKET

HAHHHHHHHH?
Aku coba berkali-kali ternyata gak bisa. Pas aku cek lagi, ASTAGA NAGAAAAA!!!!!!!!
Ternyata aku salah tanggal. Misal, nih, aku mustinya beli untuk tanggal 2 jam 1 pagi, aku malah beli untuk tanggal 1 (hari di mana aku turun gunung) jam 1 pagi (yang mana aku masih di atas, dan lagi dipermainkan babi di Sindoro).

PANIK PARAH!!!
Mana harus kerja lagi. Nyari tiket yang tersedia hanya jam 10 pagi di tanggal 2. Huhuhuhu.
Ketika teman-teman aku pulang, aku terpaksa bermalam di stasiun kereta.

Apes, dah!

Ratucumi