Ratu Cumi's Choice

APA SAJA YANG HARUS DIPERSIAPKAN JIKA INGIN MEMULAI "DIVING"?

Diving , atau dalam bahasa Indonesia bisa disebut dengan menyelam, adalah salah satu olahraga yang masuk ke dalam kategori ekstrem. Dari sem...

Selasa, 11 Oktober 2016

Besar Tapi Kecil



Orang berbadan gendut sering kali dipandang sebelah mata, sering dianggap tidak mampu melakukan aktivitas fisik, dan sering kali dianggap sebagai beruang sirkus yang lucu. Sehingga sebagian besar orang gendut pada akhirnya minder untuk beraktivitas fisik, dan lebih memilih untuk melakukan aktivitas yang sekiranya tidak akan mendapat nyinyiran dari pemirsa. So, sad!
Aku sebagai orang yang berbadan gendut ingin mematahkan opini publik yang seperti itu. Aku aktif berolah raga, dari SMA. Aku tidak peduli ketika aku berlari dengan lambat, kan yang penting lari. Aku juga tidak peduli ketika berolahraga tapi lemakku bergoyang semua, namanya juga gendut. Aku juga tidak mempedulikan ketika aku dibilang cepat lelah, namanya juga olahraga mana ada yang enggak lelah. Aku ikut cabang olahraga hoki, suka diejekin, bahkan dijadikan seorang kiper. Aku, sih, terima-terima saja. Aku anggap itu mengasyikan karena aku hanya diam di depan gawang, HAHAHA. Tapi, siapa sangka, kegetolan aku menjadi kiper membuat aku menjadi seorang atlet hoki atas nama kontingen Jawa Barat untuk berjuang di Pra Pon tahun 2007.
Setelah tidak aktif di hoki, aku mulai suka jalan-jalan. Aku suka backpackeran ala-ala, modal dikit tapi keliling ke mana-mana. Tadinya hanya ke kota-kota besar aja jadi turis, tapi lama-kelamaan jadi penikmat wisata alam. Kategori “gunung” yang paling pertama aku datengin itu Gunung Bromo, sekitar tahun  2009. Dari perjalanan itu jadi suka banget naik gunung.
Di daerah kampusku di Jatinangor, ada satu gunung yang sering dijajaki oleh mahasiswa. Namanya Gunung Geulis. Konon makam yang ada di gunung tersebut adalah makam Nyi Po Ha Ci, seorang wanita yang memiliki paras yang sangat cantik. Aku bersama teman-temanku melakukan pendakian santai ke sana. Dibandingkan Bromo gunung ini memberikan pengalaman pendakian yang lebih menantang.
            Ketagihan? Pasti! Aku pun bersama teman-teman mulai sering melakukan pendakian ke gunung-gunung yang lebih menantang. Aku tidak mengikuti organisasi pecinta alam, tapi pengetahuanku tentang dunia mendaki aku dapat dari teman-temanku yang mengikuti organisasi pecinta alam. Saat itu mendaki gunung belum sepopuler seperti sekarang ini. Sehingga pendakian dilakukan benar-benar untuk berpetualang bersama dengan teman-teman dan mendapatkan pembelajaran dari alam semesta.
            Mungkin orang akan menganggap klise tentang kalimat “pembelajaran dari alam semesta” tapi tidak bagiku. Seperti aku bilang sebelumnya, aku ini berbadan gendut, sehingga ketika mendaki gunung aku tidak seperti teman-temanku yang berbadan sewajarnya. Banyak persiapan dan perjuangan yang harus aku lakukan.
            Yang namanya naik gunung itu capek, pake banget. Kita mendaki bukan cuma jalan jauh. Sehingga butuh banget fisik yang kuat. Kondisi fisikku tidak akan sama dengan teman yang lain. Aku sebagai pendaki gendut akan berjalan lebih lambat dari teman-teman yang lain. Tapi walaupun lambat kita harus tetap berjalan dengan langkah yang konstan, dan mengatur napas. Untuk bisa seperti ini kita harus punya bekal fisik dengan cara olahraga sebelum berangkat.
Menu olahraga aku lumayan berat ketika akan mendaki gunung. Karena aku selalu menetapkan targetku untuk sampai puncak. Seminggu aku lari 3 kali dan setiap lari harus mencapai jarak 5 kilometer dengan waktu yang konstan (biasanya akan butuh waktu 50-55 menit). Aku tidak mampu lari lebih cepat dari itu, maklum badannya berat hehehe. Ketika lari aku mengatur ritme pernapasan. Dua langkah aku menghirup napas, dan dua langkah kemudian buang napas. Napas aku usahakan dari hidung, karena kalau menggunakan mulut akan membuat mulut kering. Tapi jika badan sudah dalam keadaan lelah aku mulai menggunakan pernapasan lewat hidung dan mulut. Tarik napas lewat hidung dan dibuang dari mulut.
Secara tidak langsung alam semesta mengajarkan semua itu. Aku menjadi lebih pantang menyerah dan berusaha, tidak menyerah pada keadaan. Aku tidak menyesali bentuk fisikku, yang aku harus lakukan adalah aku menghargainya dan berjuang bersamanya. Sering aku merasa lelah, tapi dibawa enjoy dan positif saja.
Alam semesta juga mengajarkanku untuk tidak sombong dan bersyukur. Keberhasilan pendakianku selalu membuat aku yakin akan selalu mencapai target. Tapi ternyata tidak selalu. Pengalaman ini aku dapatkan di Gunung Semeru. Pertama kali aku mendaki gunung ini tahun 2014. Begitu yakinnya aku akan mampu tiba di puncak. Kesombongan menghantui aku. Tapi apa yang terjadi? Di seperempat badan Mahameru aku merasa sangat kelelahan hingga tidak mampu melanjutkan pendakian dan mengesampingkan targetku. Aku duduk terdiam, memandang alam, ditemani oleh hembusan angin yang membawa butiran pasir saat itu. Aku melihat sebuah keindahan. Aku menghapuskan kesedihanku dan aku pun berkata. “Mungkin untuk saat ini puncakku bukan di Mahameru, tapi di sini”. Aku bersyukur Tuhan masih memberikan aku fisik yang kuat dan kesempatan untuk sampai di atas ini. Walaupun aku berbadan besar, aku musti ingat di tengah alam semesta ini aku kecil.
Kegagalanku tiba di Mahameru, tidak membuatku menyerah begitu saja. Aku tetap berusaha. Tahun 2015 aku pergi ke sana lagi, dan aku gagal lagi hahahaha. Kali ini aku hanya kuat hingga tiga per empat badan Mahameru. Masih pantang menyerah, tahun 2016, tepatnya Mei lalu, aku pergi ke sana lagi. Kali ini aku pasrah, nyampe syukur, kalau enggak nyampe lagi ya berarti nanti tahun depan coba lagi. Tapi Alhamdulillah, kali ini alam semesta memelukku. Akhirnya aku berhasil menginjakkan kakiku di Mahameru dengan segala usaha dan upaya.

 Mendaki gunung bukan hanya sekedar mengatur fisik, tapi juga emosi. Ketika naik gunung, aku merasa aku bukan siapa-siapa. Aku hanya bagai butiran debu ketika berhadapan dengan alam semesta. Ketika orang yang berada di dekatmu adalah saudaramu. Orang yang melangkah di depan atau belakangmu adalah teman seperjalananmu.
Sedikit lagi sampai di puncak Rinjani, Tahun 2015, aku bertemu seorang pendaki. Dia berkata kepadaku "Mba tolonglah aku dikasih semangat!" Aku tertawa mendengarnya, dari fisik dan ragapun sudah jelas dia lebih kuat. "SEMANGAT MAS! Ayo duduk dulu di sini," ujarku kepadanya. Di luar dugaan dia menjawab, "Mba aku minta semangat bukan istirahat." Aku kembali tertawa mendengarnya.

"Kalau gitu gantian aku yang dikasih semangat, dong!" ujarku.
"Mba, Ayo Semangat! Puncak sudah dekat. Kalau capek, coba tanyakan pada diri sendiri, lebih baik ke puncak yang sudah dekat atau turun lagi ke ujung sana. Ayo Mba, Aku tunggu di puncak," ujarnya.
Perbincangan singkat dengan saudara asing yang menyenangkan dan mematik semangat. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada aku kembali melangkah. Begitu aku sampai di puncak, pendaki tadi berteriak di kejauhan sambil melambai, "Mba, hai mbaaaaa, selamat datang di Puncak Anjani." Aku melangkah mendekatinya lalu dia aku kasih satu inaco. Dia pun bahagia hahaha.
Ya, seperti itulah, sesama pendaki pasti memberi semangat. Sesama pendaki pasti merasa seperti saudara. Padahal kami tidak saling kenal. Hal-hal seperti inilah yang enggak bisa didapatkan dari hanya jalan-jalan ke mal atau nongkrong di cafe.
           

            Setiap gunung banyak cerita, setiap gunung banyak warna, setiap gunung punya pembelajaran yang berbeda. Banyak hal yang aku pelajari dari sebuah gunung. Dalam setiap pendakian bukan hanya melulu mencapai target, tapi juga sebagai sarana refleksi diri.
            Salah satu pendakian aku yang tidak bertarget adalah ketika ke Papandayan, tahun 2014. Aku bersama teman-temanku hanya kemping di Pondok Salada dan berjalan santai ke Tegal Alun. Salah satu teman pendakianku adalah seorang anggota dari Trashbag Community. Selama ini aku selalu membawa sampahku kembali turun. Tapi pendakian kali ini aku baru pertama kalinya bersama teman-temanku membawa sampah orang lain. Kami memungut sampah yang berada di sekitaran Pondok Saladah dan di jalur perjalanan pulang. Lumayan juga, kami mengumpulkan kurang lebih tiga buah kantung sampah.
            Aku pernah membuat artikel tentang sampah-sampah yang ada di gunung. Aku mewawancarai Kepala TNGPS saat itu. Menurutnya selain mengotori lingkungan, ternyata sampah-sampah ini turut merusak ekosistem. Seperti satwa-satwa yang berada di hutan memakan sampah yang di tinggalkan pedaki, yang notabene bukan makanan asli mereka. Hal ini aku lihat dengan mata kepalaku sendiri di Pos 3 Gunung Rinjani. Sekawanan monyet turun untuk mencari makanan. Mereka mendekati para pendaki yang sedang beristirahat. Lalu mereka mengais sampah dan memakan apa yang mereka temukan. Seperti bumbu bekas mie instan. Kebiasaan baru inilah yang merusak perilaku mereka. Mereka enggan mencari makan sendiri, tetapi mengandalkan sampah pendaki. Hal itulah yang membuat aku bawel banget ke teman-teman sependakian untuk selalu membawa kembali sampahnya. Kalau tidak mau memungut sampah orang setidaknya memungut sampah sendiri.
            Teman kami tidak mengajak memungut sampah. Kami yang melihatnya tergerak sendiri untuk mengikuti apa yang dia lakukan. Yang tadinya hanya duduk manis menunggu, langsung berdiri dan bergerak memungut sampah. Ini yang namanya berbuat baik itu pasti menular. Di mana pun, dan kapan pun. Tanpa orang-orang seperti mereka mungkin sampah di gunung ini numpuk juga.
Ceritaku yang paling pamungkas adalah tentang teman pendakian dan sikap seorang wanita. Aku punya seorang teman pendakian, laki-laki. Kami sudah menginjakkan kaki bersama di beberapa gunung. Kami bersama punya niat untuk selalu menginjakkan kaki bersama di puncak-puncak tertinggi sebelum pada akhirnya ke pelaminan (cieeeee). Sebagai seorang wanita mandiri, terkadang sulit untuk menempatkan diri ketika berhadapan dengan laki-laki. Selalu merasa bisa sendiri dan lebih baik dibandingkan laki-laki. Temanku ini adalah anggota muda dari sebuah perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung.  Dengan keahlian dan kemampuannya dia mengajari aku banyak hal tentang pendakian. Bagaimana cara melihat arah angin, melangkah di medan berpasir, menentukan tempat berkemah, packing, perbekalan, dan masih banyak lagi. Dia mengajariku hal-hal kecil tapi penting. Sehingga salah satu cara untuk “mengingatkan” aku bahwa suatu hari nanti laki-laki yang akan menjadi imam adalah dengan melakukan pendakian bersamanya. Kita ini memang wanita tangguh, tapi tetap perlu diingatkan tentang beberapa sikap.
            Aku senang berpetualang, dan aku senang berbagi tentang perjalanan-perjalananku. Setiap pulang dari pendakian suatu gunung, aku langsung unggah foto-foto di media sosial atau menulis blog. Sekali waktu ada yang pernah mengirimkan personal message di instagram saya. Perempuan ini berbadan gendut sepertiku. Dia ingin sekali mendaki gunung dan bertanya tips pendakian untuk orang gendut. Hihihi. Dari yang tadinya Cuma tanya-tanya, kami pun jadi sering berkomunikasi via personal message. Senang rasanya menginspirasi.