Ratu Cumi's Choice

APA SAJA YANG HARUS DIPERSIAPKAN JIKA INGIN MEMULAI "DIVING"?

Diving , atau dalam bahasa Indonesia bisa disebut dengan menyelam, adalah salah satu olahraga yang masuk ke dalam kategori ekstrem. Dari sem...

Selasa, 11 Oktober 2016

Besar Tapi Kecil



Orang berbadan gendut sering kali dipandang sebelah mata, sering dianggap tidak mampu melakukan aktivitas fisik, dan sering kali dianggap sebagai beruang sirkus yang lucu. Sehingga sebagian besar orang gendut pada akhirnya minder untuk beraktivitas fisik, dan lebih memilih untuk melakukan aktivitas yang sekiranya tidak akan mendapat nyinyiran dari pemirsa. So, sad!
Aku sebagai orang yang berbadan gendut ingin mematahkan opini publik yang seperti itu. Aku aktif berolah raga, dari SMA. Aku tidak peduli ketika aku berlari dengan lambat, kan yang penting lari. Aku juga tidak peduli ketika berolahraga tapi lemakku bergoyang semua, namanya juga gendut. Aku juga tidak mempedulikan ketika aku dibilang cepat lelah, namanya juga olahraga mana ada yang enggak lelah. Aku ikut cabang olahraga hoki, suka diejekin, bahkan dijadikan seorang kiper. Aku, sih, terima-terima saja. Aku anggap itu mengasyikan karena aku hanya diam di depan gawang, HAHAHA. Tapi, siapa sangka, kegetolan aku menjadi kiper membuat aku menjadi seorang atlet hoki atas nama kontingen Jawa Barat untuk berjuang di Pra Pon tahun 2007.
Setelah tidak aktif di hoki, aku mulai suka jalan-jalan. Aku suka backpackeran ala-ala, modal dikit tapi keliling ke mana-mana. Tadinya hanya ke kota-kota besar aja jadi turis, tapi lama-kelamaan jadi penikmat wisata alam. Kategori “gunung” yang paling pertama aku datengin itu Gunung Bromo, sekitar tahun  2009. Dari perjalanan itu jadi suka banget naik gunung.
Di daerah kampusku di Jatinangor, ada satu gunung yang sering dijajaki oleh mahasiswa. Namanya Gunung Geulis. Konon makam yang ada di gunung tersebut adalah makam Nyi Po Ha Ci, seorang wanita yang memiliki paras yang sangat cantik. Aku bersama teman-temanku melakukan pendakian santai ke sana. Dibandingkan Bromo gunung ini memberikan pengalaman pendakian yang lebih menantang.
            Ketagihan? Pasti! Aku pun bersama teman-teman mulai sering melakukan pendakian ke gunung-gunung yang lebih menantang. Aku tidak mengikuti organisasi pecinta alam, tapi pengetahuanku tentang dunia mendaki aku dapat dari teman-temanku yang mengikuti organisasi pecinta alam. Saat itu mendaki gunung belum sepopuler seperti sekarang ini. Sehingga pendakian dilakukan benar-benar untuk berpetualang bersama dengan teman-teman dan mendapatkan pembelajaran dari alam semesta.
            Mungkin orang akan menganggap klise tentang kalimat “pembelajaran dari alam semesta” tapi tidak bagiku. Seperti aku bilang sebelumnya, aku ini berbadan gendut, sehingga ketika mendaki gunung aku tidak seperti teman-temanku yang berbadan sewajarnya. Banyak persiapan dan perjuangan yang harus aku lakukan.
            Yang namanya naik gunung itu capek, pake banget. Kita mendaki bukan cuma jalan jauh. Sehingga butuh banget fisik yang kuat. Kondisi fisikku tidak akan sama dengan teman yang lain. Aku sebagai pendaki gendut akan berjalan lebih lambat dari teman-teman yang lain. Tapi walaupun lambat kita harus tetap berjalan dengan langkah yang konstan, dan mengatur napas. Untuk bisa seperti ini kita harus punya bekal fisik dengan cara olahraga sebelum berangkat.
Menu olahraga aku lumayan berat ketika akan mendaki gunung. Karena aku selalu menetapkan targetku untuk sampai puncak. Seminggu aku lari 3 kali dan setiap lari harus mencapai jarak 5 kilometer dengan waktu yang konstan (biasanya akan butuh waktu 50-55 menit). Aku tidak mampu lari lebih cepat dari itu, maklum badannya berat hehehe. Ketika lari aku mengatur ritme pernapasan. Dua langkah aku menghirup napas, dan dua langkah kemudian buang napas. Napas aku usahakan dari hidung, karena kalau menggunakan mulut akan membuat mulut kering. Tapi jika badan sudah dalam keadaan lelah aku mulai menggunakan pernapasan lewat hidung dan mulut. Tarik napas lewat hidung dan dibuang dari mulut.
Secara tidak langsung alam semesta mengajarkan semua itu. Aku menjadi lebih pantang menyerah dan berusaha, tidak menyerah pada keadaan. Aku tidak menyesali bentuk fisikku, yang aku harus lakukan adalah aku menghargainya dan berjuang bersamanya. Sering aku merasa lelah, tapi dibawa enjoy dan positif saja.
Alam semesta juga mengajarkanku untuk tidak sombong dan bersyukur. Keberhasilan pendakianku selalu membuat aku yakin akan selalu mencapai target. Tapi ternyata tidak selalu. Pengalaman ini aku dapatkan di Gunung Semeru. Pertama kali aku mendaki gunung ini tahun 2014. Begitu yakinnya aku akan mampu tiba di puncak. Kesombongan menghantui aku. Tapi apa yang terjadi? Di seperempat badan Mahameru aku merasa sangat kelelahan hingga tidak mampu melanjutkan pendakian dan mengesampingkan targetku. Aku duduk terdiam, memandang alam, ditemani oleh hembusan angin yang membawa butiran pasir saat itu. Aku melihat sebuah keindahan. Aku menghapuskan kesedihanku dan aku pun berkata. “Mungkin untuk saat ini puncakku bukan di Mahameru, tapi di sini”. Aku bersyukur Tuhan masih memberikan aku fisik yang kuat dan kesempatan untuk sampai di atas ini. Walaupun aku berbadan besar, aku musti ingat di tengah alam semesta ini aku kecil.
Kegagalanku tiba di Mahameru, tidak membuatku menyerah begitu saja. Aku tetap berusaha. Tahun 2015 aku pergi ke sana lagi, dan aku gagal lagi hahahaha. Kali ini aku hanya kuat hingga tiga per empat badan Mahameru. Masih pantang menyerah, tahun 2016, tepatnya Mei lalu, aku pergi ke sana lagi. Kali ini aku pasrah, nyampe syukur, kalau enggak nyampe lagi ya berarti nanti tahun depan coba lagi. Tapi Alhamdulillah, kali ini alam semesta memelukku. Akhirnya aku berhasil menginjakkan kakiku di Mahameru dengan segala usaha dan upaya.

 Mendaki gunung bukan hanya sekedar mengatur fisik, tapi juga emosi. Ketika naik gunung, aku merasa aku bukan siapa-siapa. Aku hanya bagai butiran debu ketika berhadapan dengan alam semesta. Ketika orang yang berada di dekatmu adalah saudaramu. Orang yang melangkah di depan atau belakangmu adalah teman seperjalananmu.
Sedikit lagi sampai di puncak Rinjani, Tahun 2015, aku bertemu seorang pendaki. Dia berkata kepadaku "Mba tolonglah aku dikasih semangat!" Aku tertawa mendengarnya, dari fisik dan ragapun sudah jelas dia lebih kuat. "SEMANGAT MAS! Ayo duduk dulu di sini," ujarku kepadanya. Di luar dugaan dia menjawab, "Mba aku minta semangat bukan istirahat." Aku kembali tertawa mendengarnya.

"Kalau gitu gantian aku yang dikasih semangat, dong!" ujarku.
"Mba, Ayo Semangat! Puncak sudah dekat. Kalau capek, coba tanyakan pada diri sendiri, lebih baik ke puncak yang sudah dekat atau turun lagi ke ujung sana. Ayo Mba, Aku tunggu di puncak," ujarnya.
Perbincangan singkat dengan saudara asing yang menyenangkan dan mematik semangat. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada aku kembali melangkah. Begitu aku sampai di puncak, pendaki tadi berteriak di kejauhan sambil melambai, "Mba, hai mbaaaaa, selamat datang di Puncak Anjani." Aku melangkah mendekatinya lalu dia aku kasih satu inaco. Dia pun bahagia hahaha.
Ya, seperti itulah, sesama pendaki pasti memberi semangat. Sesama pendaki pasti merasa seperti saudara. Padahal kami tidak saling kenal. Hal-hal seperti inilah yang enggak bisa didapatkan dari hanya jalan-jalan ke mal atau nongkrong di cafe.
           

            Setiap gunung banyak cerita, setiap gunung banyak warna, setiap gunung punya pembelajaran yang berbeda. Banyak hal yang aku pelajari dari sebuah gunung. Dalam setiap pendakian bukan hanya melulu mencapai target, tapi juga sebagai sarana refleksi diri.
            Salah satu pendakian aku yang tidak bertarget adalah ketika ke Papandayan, tahun 2014. Aku bersama teman-temanku hanya kemping di Pondok Salada dan berjalan santai ke Tegal Alun. Salah satu teman pendakianku adalah seorang anggota dari Trashbag Community. Selama ini aku selalu membawa sampahku kembali turun. Tapi pendakian kali ini aku baru pertama kalinya bersama teman-temanku membawa sampah orang lain. Kami memungut sampah yang berada di sekitaran Pondok Saladah dan di jalur perjalanan pulang. Lumayan juga, kami mengumpulkan kurang lebih tiga buah kantung sampah.
            Aku pernah membuat artikel tentang sampah-sampah yang ada di gunung. Aku mewawancarai Kepala TNGPS saat itu. Menurutnya selain mengotori lingkungan, ternyata sampah-sampah ini turut merusak ekosistem. Seperti satwa-satwa yang berada di hutan memakan sampah yang di tinggalkan pedaki, yang notabene bukan makanan asli mereka. Hal ini aku lihat dengan mata kepalaku sendiri di Pos 3 Gunung Rinjani. Sekawanan monyet turun untuk mencari makanan. Mereka mendekati para pendaki yang sedang beristirahat. Lalu mereka mengais sampah dan memakan apa yang mereka temukan. Seperti bumbu bekas mie instan. Kebiasaan baru inilah yang merusak perilaku mereka. Mereka enggan mencari makan sendiri, tetapi mengandalkan sampah pendaki. Hal itulah yang membuat aku bawel banget ke teman-teman sependakian untuk selalu membawa kembali sampahnya. Kalau tidak mau memungut sampah orang setidaknya memungut sampah sendiri.
            Teman kami tidak mengajak memungut sampah. Kami yang melihatnya tergerak sendiri untuk mengikuti apa yang dia lakukan. Yang tadinya hanya duduk manis menunggu, langsung berdiri dan bergerak memungut sampah. Ini yang namanya berbuat baik itu pasti menular. Di mana pun, dan kapan pun. Tanpa orang-orang seperti mereka mungkin sampah di gunung ini numpuk juga.
Ceritaku yang paling pamungkas adalah tentang teman pendakian dan sikap seorang wanita. Aku punya seorang teman pendakian, laki-laki. Kami sudah menginjakkan kaki bersama di beberapa gunung. Kami bersama punya niat untuk selalu menginjakkan kaki bersama di puncak-puncak tertinggi sebelum pada akhirnya ke pelaminan (cieeeee). Sebagai seorang wanita mandiri, terkadang sulit untuk menempatkan diri ketika berhadapan dengan laki-laki. Selalu merasa bisa sendiri dan lebih baik dibandingkan laki-laki. Temanku ini adalah anggota muda dari sebuah perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung.  Dengan keahlian dan kemampuannya dia mengajari aku banyak hal tentang pendakian. Bagaimana cara melihat arah angin, melangkah di medan berpasir, menentukan tempat berkemah, packing, perbekalan, dan masih banyak lagi. Dia mengajariku hal-hal kecil tapi penting. Sehingga salah satu cara untuk “mengingatkan” aku bahwa suatu hari nanti laki-laki yang akan menjadi imam adalah dengan melakukan pendakian bersamanya. Kita ini memang wanita tangguh, tapi tetap perlu diingatkan tentang beberapa sikap.
            Aku senang berpetualang, dan aku senang berbagi tentang perjalanan-perjalananku. Setiap pulang dari pendakian suatu gunung, aku langsung unggah foto-foto di media sosial atau menulis blog. Sekali waktu ada yang pernah mengirimkan personal message di instagram saya. Perempuan ini berbadan gendut sepertiku. Dia ingin sekali mendaki gunung dan bertanya tips pendakian untuk orang gendut. Hihihi. Dari yang tadinya Cuma tanya-tanya, kami pun jadi sering berkomunikasi via personal message. Senang rasanya menginspirasi.

Rabu, 28 September 2016

Siapkan Perbekalan Mendakimu, Yuk!


Halooo selamat pagi..
Pagi ini sudah pada sarapan? Konon katanya sarapan bisa bikin kita tambah fokus dan enggak ngantuk ketika sedang beraktivitas, lo!
Aku, hari ini mau sharing tentang makanan atau lebih tepatnya perbekalan ketika mendaki gunung. Saat mendaki tubuh kita akan menguras banyak  energi, jadi kita membutuhkan asupan makanan yang tepat agar tubuh tetap sehat dan kuat. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika membuat daftar perbekalan dalam suatu rencana perjalanan. Seperti:
-Lamanya perjalanan
-Aktivitas apa saja yang akan dilakukan
-Keadaan medan yang akan dihadapi

Ketika sudah mengetahui tentang ketiga informasi tersebut, kita bisa mulai memperhitungkan kira-kira berapa kali kita harus makan besar dan apa saja menu makanannya dalam sebuah pendakian. Misal kamu akan melakukan pendakian ke Gunung Semeru selama 4 hari, setidaknya kamu akan makan ketika berada di:  

1. Ranupane (makan siang)
Karena masih berada di suatu peradaban, maka saat tiba di Ranupane kamu tidak perlu masak perbekalan. Kamu bisa membeli makan di warung yang berada di desa ini atau membungkus makanan yang kamu beli di Pasar Tumpang (tempat cek poin para pendaki sebelum melakukan pendakian ke Gunung Semeru).

2. Ranukumbolo  (makan malam)
Ini adalah tempat pertama yang biasa disinggahi oleh para pendaki untuk bermalam, setelah melakukan perjalanan panjang dari Ranupane. Perjalanan yang ditempuh kurang lebih 4 jam. Biasanya, ketika tiba di sini tubuh mulai berasa lelah dan hawa sekitar pun terasa dingin. Maka kamu bisa menentukan sebelumnya, untuk makan malam apakah kamu akan membungkus makanan dari  Ranupane atau masak. Jika pilihanmu memasak, maka kamu bisa menentukan menu makanan terlebih dahulu sebelum pergi. Karena di sini ada sumber air dan hawanya cukup dingin, kamu bisa merancang menu makanan yang membutuhkan banyak air, seperti sayur sop atau capcay kuah.

3. Ranukumbolo (sarapan)
Setelah Ranukumbolo, destinasi tempat bermalam selanjutnya adalah Kalimati. Kamu harus menempuh perjalanan yang cukup lama untuk tiba di sana kurang lebih sekitar 6 jam. Oleh karena itu usahakan sarapan dengan makanan yang bisa memberikan energi dan mengenyangkan. Kalau aku biasanya memilih pasta untuk sarapan (pasta seperti spaghetti, bukan mie instan). Pasta bisa membuatmu lebih kenyang dalam waktu yang lebih lama dan membantu menjaga kadar gula darah agar lebih stabil. 

4. Perjalanan ke Kalimati (makan siang)
Biasanya kita akan tiba di Kalimati pada sore hari. Kemungkinan kita akan makan siang di tengah jalan. Repot rasanya kalau kamu harus memasak di tengah jalan. Akan tetapi, jangan sampai karena kamu merasa repot kamu lebih memilih hanya makan camilan saja. Ingat, kita sedang beraktivitas fisik, sehingga tubuh membutuhkan asupan makanan sebagai sumber energi. Jangan menyiksa tubuhmu hanya karena kamu merasa repot. Oleh karena itu ada baiknya jika kamu sudah menyiapkan makan siangmu ketika sedang berada di Ranukumbolo. Aku pribadi, biasanya membawa tempat bekal sebagai peralatan makan bukannya piring, sehingga ketika harus makan di tengah jalan seperti ini, aku tidak perlu masak cukup makan bekal. Susun menu makanan yang tidak cepat basi dan tidak mengandung air, seperti nasi tempe, tahu, dan telor. Pokoknya makanan yang mengandung cukup karbohidrat dan protein. 

5. Kalimati (makan malam) 
Kalimati merupakan tempat perkemahan kedua setelah Ranukumbolo. Akan tetapi di sini tidak tersedia sumber air yang berlimpah. Kamu harus jalan kurang lebih 45 menit (pulang pergi) untuk ke sumber air di Sumber Mani. Oleh karena itu, selama di sini kamu bisa susun menu makanan yang tidak membutuhkan banyak air. Usahakan menu makanan cukup memberikan energi dan karbohidrat, mengingat tengah malam nanti akan melakukan pendakian menuju puncak. Menu nasi, tumis buncis, telur dadar kornet mungkin bisa dicoba untuk makan malam di Kalimati.

6. Kalimati (makan sebelum pendakian menuju puncak)
Karena akan melakukan pendakian, dan aktifitas fisik yang cukup berat, ada baiknya tidak makan makanan yang terlalu berat. Hal tersebut untuk mencegah keram perut. Kamu bisa menyusun menu makanan yang rinngat tapi bisa kasih energi cukup banyak seperti granola atau roti, ditambah minuman yang hangat. Jangan lupa untuk membawa makanan untuk pendakian ke puncak, seperti roti, biskuit, coklat, atau roti.

7. Kalimati (makan siang setelah ke puncak)
Habis bermain pasir di Mahameru, sudah pasti perut akan kelaparan. Siapkan kembali menu makanan untuk memulihkan keadaan fisikmu, karena setelah ini perjalanan dilanjutkan kembali menuju Ranukumbolo. Karena medan yang akan dilalui lebih banyak turunan, maka kamu tidak perlu makan di tengah jalan seperti saat mendaki. Kurang lebih 1,5 jam kamu sudah bisa tiba di Ranukumbolo. Sehingga, kamu cukup masak untuk makan siang saja, tidak perlu membawa bekal. Mungkin untuk teman perjalanan kamu bisa siapkan camilan saja. 

8. Ranukumbolo (makan malam)
Nah, ini adalah makan malam terakhir di Ranukumbolo. Karena persediaan air berlimpah, kamu bisa rancang menu  makanan yang mengandung air dan menghangatkan badan.

9. Ranukumbolo (sarapan dan makan siang)
Sebelum melanjutkan perjalanan, sarapan terakhir dulu di Ranukumbolo sambil menikmati sunrise di antara dua bukit. Sekalian masak sarapan sekalian masak untuk bekal makan siang. Medan perjalanan yang ditempuh untuk menuju Ranupane tidak turun melulu, ada kalanya juga harus mendaki. Kemungkinan butuh waktu untuk istirahat sejenak untuk makan siang. Daripada masak ditengah jalan, mending masak bekal dulu pagi-pagi, kan? Sebenarnya, di jalur pulang ini, di beberapa pos, warga banyak yang berjualan. Mereka jualan gorengan dan buah semangka, ada juga beberapa yang jual nasi bungkus. Jadi kamu bisa memilih apakah akan menahan lapar sampai Ranupane (hmm, kayaknya enggak, deh!), makan bekal (cukup direkomendasikan), atau jajan di pos yang akan dilewati (agak direkomendasikan, karena takutnya barang dagangan sudah habis dijual).

10. Ranupane (makan sore)
Jajan bakso hahahhaa.

Intinya, kita harus memprediksikan berapa kali kita makan dan menyiapkan menu makanan yang akan kita makan ketika sedang melakukan pendakian. Karena tubuh perlu mendapatkan asupan ketika kita beraktifitas fisik. Jangan menyiksa diri dengan menahan lapar dan menganggap makan itu tidak penting. Ibarat mobil mogok gara-gara kehabisan bensin, tubuh juga bisa mogok kalau tidak dikasih makan. Pilih makanan yang mengandung kalori dan komposisi gizi yang memadai, serta tidak asing di lidah. Dengan menyusun daftar makanan terlebih dahulu, kamu tidak harus bingung dan pusing harus masak dan makan apa ketika mendaki.

Banyak yang hilang nafsu makan ketika di gunung. Oleh karena itu teman-teman bisa pilih makanan kesukaan yang memang tidak asing di lidah, atau menambahkan sesuatu untuk menggugah selera seperti sambal (jangan kebanyakan tapi, takut sakit perut). Dengan makan makanan yang kita suka, tidak asing di lidah, dan menggugah selera maka keinginan untuk makan tetap ada. Jika nafsu makan tetap tidak ada, setidaknya ada dua atau tiga sendok makanan yang masuk ke dalam tubuh, untuk menjadi sumber energi.

Tips tambahan:
1. Buat yg suka ngemil, jangan lupa camilan macam energy bar, biskuit, atau roti, disimpan pada saku atau kantong tas yang paling mudah dijamah. Hal tersebut akan memudahkan kita ketika merasa lapat di perjalanan, bisa  langsung hap tanpa harus membuka ransel.
2. Membagi logistik bahan makanan bersama teman-teman. Menurut aku pribadi makan itu penting, jadi enggak ada masalah kalo bawa bahan makanan yang banyak. Agar tidak membebani seseorang, bahan makanan ini bisa dibawa oleh beberapa orang. Perut kenyang, semua senang.
3. Saat pendakian menuju puncak, pastikan bawa makanan dan minuman untuk kebutuhan pribadi. Jangan dititip ke orang. Karena kita gak pernah tau akan ada kejadian apa.

Mungkin segitu saja tips dari aku si pendaki gendut yang doyan makan ini  hahahhaa.
Semoga bermanfaat.

Sabtu, 21 Mei 2016

Pendaki Gendut? Siapa Takut!




Biasanya setelah pulang dari pendakian suatu gunung, langsung unggah foto-foto di media sosial. Akibat dari pengunggahan ini suka ada pesan-pesan yang dikirim secara personal kepada aku. Ada yang bilang “Wah, mba hebat juga gemuk-gemuk bisa naik gunung.” (Ya, bisa lah, naik angkot juga bisa.) Ada juga yang bilang “Nyampe puncak tuh mba?” (Padahal fotonya jelas-jelas lagi di puncak. Masnyah maunyah apah, sih?) Ada juga yang tanya dan konsultasi gimana caranya gendut-gendut bisa sampe ke puncak (Ya, didaki lah masa gelinding). 

Seperti hari ini, yang terbaru, dan ter-fresh from the oven, ada yang kirim pesan di akun instagram aku.

Aku sampai ngikik-ngikik sendiri, ko tiba-tiba jadi kayak konsultan pendakian untuk para pendaki gendut. Da aku mah apa atuh, aku sendiri ngos-ngosan sampai gempor kaliiii kalo naik gunung. Jangan dipikir bisa bergerak lincah seperti kancil. Hahahaha.

Tapi kejadian itulah yang membuat aku terinspirasi membuat tulisan ini (meumpeung belom ada inspirasi untuk nulis tesis). Orang berbadan gendut sering kali dipandang sebelah mata, sering dianggap tidak mampu melakukan aktivitas fisik, dan sering kali dianggap sebagai beruang sirkus yang lucu. Sehingga kadang banyak orang gendut yang pada akhirnya minder untuk beraktivitas fisik, dan lebih memilih untuk melakukan aktivitas yang sekiranya tidak akan mendapat nyinyiran dari pemirsa. So, sad!

Aku sebagai orang gendut ingin mematahkan opini publik yang seperti itu. Aku aktif berolah raga, dari SMA. Biarin aja kalo larinya lambat juga, kan yang penting lari. Biar aja kalo lemaknya goyang semua namanya juga gendut. Biar aja kalo dibiilang cepet cape, namanya juga olahraga mana ada yang enggak cape. Aku ikut cabang olahraga hoki, suka diejekin, bahkan ditaro jadi kiper. Aku sih terima-terima aja. Asik tau, cuma diem di gawang. HAHAHA. Tapi siapa sangka begitu aku kuliah jadi atlet sampe Pra PON.

Setelah tidak aktif di hoki, aku mulai suka jalan-jalan. Aku suka backpackeran ala-ala, modal dikit tapi keliling ke mana-mana. Tadinya hanya ke kota-kota besar aja jadi turis, tapi lama-kelamaan jadi penikmat wisata alam. Kategori “gunung” yang paling pertama aku datengin itu Gunung Bromo, sekitar tahun  2009. Dari perjalanan itu jadi suka banget naik gunung.

Dulu tenaganya masih tenaga atlet, jadi enggak ada masalah. Sekarang tenaganya tenaga perut gendut, jadi perlu banyak banget persiapan. Pernah sekali waktu pergi ke Gunung Pangrango, kalau tidak salah tahun 2013. Berasa badan kuat-kuat aja pergi (merasa masih jadi atlet) di tengah  jalan memble banget!!! Bahkan sebelum sampai Kandang Badak, udah gak kuat jalan. Harus ditarik dan di dorong sama teman, bahkan ranselnya dibawain. Hadeuuuuh... kacau. Gara-gara kejadian ini aku jadi melakukan berbagai persiapan setiap mau naik gunung.

Apa saja persiapannya untuk para pendaki gendut? Ini dia:

1. Kurangi berat badan
Setidaknya kita tidak dalam keadaan gendut-gendut banget saat akan melakukan pendakian. Kita yang tahu bagaimana kondisi tubuh kita, berat banget atau berat ajah.  Aku biasanya 3 bulan sebelum berangkat udah mulai mengontrol asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh. Selain itu juga disiplin untuk memilih makanan yang sehat dan mengonsumsi buah-buahan. Untuk pendakian menuju Semeru, aku diet ketat sampai turun berat badan hingga 9 kilo. Enggak keliatan, sih (sedih). Tapi aku merasa tubuh aku menjadi lebih ringan.

2. Olahraga
Yang namanya naik gunung itu capek, pake banget. Kita mendaki bukan cuma jalan jauh. Sehingga butuh banget fisik yang kuat. Jangan pernah beranggapan kondisi fisik kita akan sama dengan teman yang badannya kurus dan bakal menyeimbangi mereka ketika berjalan. Kita sebagai pendaki gendut akan jalan lebih lambat dari teman-teman yang lain. Jangan kecil hati, biar lambat kita harus mampu jalan terus. Tetap berjalan dengan langkah yang konstan, dan mengatur napas. Untuk bisa seperti ini kita harus punya bekal dengan olahraga sebelum berangkat.

Menu olahraga aku lumayan berat ketika akan mendaki gunung. Karena aku selalu menetapkan targetku untuk sampai puncak, maka harus banget fisiknya kuat. Seminggu aku lari 3 kali dan setiap lari harus mencapai jarak 5 kilometer dengan waktu yang konstan (biasanya akan butuh waktu 50-55 menit). Aku gak mampu lari lebih cepat dari itu, maklum badannya berat hehehe. Ketika lari aku mengatur ritme pernapasan. Dua langkah aku menghirup napas, dan dua langkah kemudian buang napas. Napas aku usahakan dari hidung, karena kalau menggunakan mulut akan membuat mulut kering. Tapi jika badan sudah dalam keadaan lelah aku mulai menggunakan pernapasan lewat hidung dan mulut. Tarik napas lewat hidung dan dibuang dari mulut.

Dalam satu minggu, aku juga masih menyempatkan diri untuk zumba dan berenang. Pokoknya gerak terooooos jangan sampe kendor.

3. Makan Enak
Sehari sebelum berangkat aku makan enak dulu di restoran mahal, hadiah buat si tubuh gendut yang udah digenjot terus buat olah raga. Lagian kan besok juga bakal olahraga lagi di gunung HAHAHA.

Selain persiapan ada beberapa tips untuk pendaki gendut yang insyaalloh kepake:


  1. 1. Bawa ransel jangan yang terlalu besar, bawa yang ukuran sedang (35-50 liter). Isi dengan perlengkapan yang dibutuhkan. Kalau gak butuh-butuh banget mendingan gak usah dibawa. Semakin ringan tas akan semakin memudahkan kita untuk berjalan.
  2. Janjian dengan seorang teman untuk “Jangan tinggalin aku, yah. Kamu tega aku jalan sendirian?” hahaha *drama*. Kita pasti akan berjalan lebih lambat dari teman-teman yang lain, sehingga gunakan teknik buddy system. Lagian di gunung jangan jalan sendirian juga, minimal berdua.
  3. Jangan istirahat terlalu lama, semakin lama tubuh akan semakin dingin. Ketika sudah dingin biasanya malas bergerak inginnya selimutan terus bobo. Aku biasanya pake jurus 5! Setiap kali merasa lelah, diam sebentar lalu tarik nafas 5 kali terus lanjut jalan. Atau jurus 20 langkah. Sebisa mungkin terus melangkah sebanyak 20 kali, kalau udah dapet 20 langkah baru boleh tarik napas 5-10 kali. Aku pribadi jarang istirahat sambil duduk, biasanya tetap berdiri sambil mengatur napas. Duduk kalau udah cape pake banget. Jangan lupa lepas ransel ya, kasih kendor dikit lah buat badan.
  4. Mengatur napas seperti saat olahraga lari. Anggep aja kita lagi lari. Kalau lari aja bisa, pasti naik gunung juga bisa.
  5. Ngantongin makanan. Perut gendut pastinya cepet laper. Kalau udah laper biasanya aku mulai males gerak. Aku taro beberapa snack batangan atau coklat di kantong baju. Biar kalo laper bisa ganyem sambil jalan gak perlu berhenti untuk bongkar-bongkar tas. Hemat tenaga.
  6. Bawa trekking pole, lumayan bisa menopang badan dan menjadi penyangga ketika lelah.
  7. Niat yang kuat. Semakin niat, semakin kuat, semakin mendekati puncak. Jangan pantang menyerah. Gengsi sama temen juga boleh. Gengsi ini cukup membantu aku, lo! HAHAHAHA.
  8. Yang paling penting sesuaikan dengan keadaan fisik dan kekuatan tubuh. Yang tahu badan kita cuma kita sendiri, bukan orang lain. Ketika memang sudah merasa tidak mampu, jangan dipaksakan. Berarti titik kita berhenti itulah puncak kita. Toh puncak gunung gak pindah-pindah, masih ada lain waktu untuk bisa ke sana. Contohnya, nih, aku naik Semeru itu udah 3 kali. Tapi baru pendakian yang ke-3 aku bisa sampai puncak. Yang penting tetap semangat :)

Oke semuanya, semoga berhasil!

Salam,
Melissa, si pendaki gendut.

Postingan asli:
Pendaki Gendut? Siapa Takut!

Senin, 25 April 2016

This is it, Merbabu!

Menjelang akhir tahun 2015, seorang teman bertanya "mau ke mana?"
Aku pun menjawab, "ke tempat di mana aku bisa melihat senja terakhir di tahun ini, dan sinar matahari pertama di tahun 2016."
Dia pun memberikan pertanyaan tambahan. "pantai atau gunung?"
Dengan lantang aku menjawab, "gunung! Aku rindu ketinggian"
Maka terpilihlah si cantik Merbabu.

Dari beberapa pendakian yang pernah aku lakukan, aku merasa pendakian kali ini yang paling indah. Walau sempat terguyur hujan deras, tapi aku selalu disuguhi pemandangan indah sepanjang perjalanan. Belum lagi dengan gagahnya Merapi menatap perjalanan kami dari kejauhan, seolah memberi semangat untuk terus melangkah.

Senja terakhir di tahun 2015 menyambut kami di pos 3 kala itu. Sungguh indah, sangat indah. Berulang kali aku memuji keindahan ini. Tidak terbayar oleh apapun. Semua terekam dengan sempurna dalam ingatan ini. Seolah temaram senja tidak cukup, bias cahaya yang membentuk warna pelangi pun turut menghiasi langit sore kala itu.

***
Detik-detik pergantian tahun segera tiba, aku terbangun oleh teriakan pendaki lain yang sedang menghitung mundur. Aku segera membangunkan temanku, jangan sampai momen seperti ini terlewatkan. Ketika aku membuka tenda, Pos 3 Merbabu cukup ramai di tengah kelamnya malam saat itu. Semua pendaki bercengkrama, siap untuk melakukan selebrasi pergantian tahun. Tepat pukul 12 semua berteriak riuh. Para pendaki yang membawa terompet pun meniupkannya kencang-kencang. Aku pun turut berteriak penuh semangat. 
Ketika aku membalikan tubuhku untuk menatap Merapi, aku pun ternganga.
Merapi malam itu berdiri dengan sangat gagah membelah langit malam. Sinar rembulan membuatnya tuan puncak tampak jelas. Letupan dari percikan cahaya kembang api pun ikut menghiasi kaki Merapi. Lagi-lagi pemandangan indah. Membuat aku tertidur sambil tersenyum di malam pergantian tahun.

***
Keindahan tidak berakhir malam itu. Aku terbangun tepat pukul setengah enam pagi. Aku segera bersiap untuk menyaksikan matahari pertama di tahun ini. Tidak seramai malam tadi, pagi ini suasana terasa syahdu. Warna kuning keemasan mulai membelah cakrawala di ufuk timur. Semua pendaki berdecak kagum. Sedikit demi sedikit Mentari pun menunjukkan bentuk bulat sempurna.
Halo, selamat datang 2016 :)

Postingan Asli:
This is it, Merbabu!