Ratu Cumi's Choice

APA SAJA YANG HARUS DIPERSIAPKAN JIKA INGIN MEMULAI "DIVING"?

Diving , atau dalam bahasa Indonesia bisa disebut dengan menyelam, adalah salah satu olahraga yang masuk ke dalam kategori ekstrem. Dari sem...

Rabu, 30 September 2020

Perjalanan 30 yang ke-34

 

Wow.. enggak kerasa, ya, tiba-tiba udah 34 tahun. Rasanya kayak baru kemaren belajar sepeda roda tiga lalu kemudian masuk ke got hahahaha...

Di umur ke-34 banyak hal-hal baru yang aku alami dan aku rasakan. Aku merasakan hidup di tengah pandemi virus corona yang mengharuskan untuk diam di rumah saja selama hampir 7 bulan, merasakan bekerja secara online, merasakan kembali bermain sepatu roda, merasakan jatuh saat meluncur dari sepatu roda, merasakan rasa bahagia karena bebas tugas dari hal-hal yang tidak aku suka, merasakan semangat kembali bekerja karena membuka lembaran baru, merasakan jatuh dari tebih dan hampir mati, merasakan pergi ke UGD rumah sakit tulang, merasakan patah tulang, merasakan dipasang gips, merasakan tidak berarti karena kesulitan berjalan, merasakan putus asa karena tidak bisa ngapa-ngapain, merasakan bahagia ketika lepas gips, merasakan sulitnya berjalan pakai tongkat, merasakan kerinduan yang begitu besar kepada masa lalu.

Ya, walaupun hanya di rumah saja tapi begitu banyak yang dirasa dan membuat diriku selalu berkontemplasi. Tak jarang aku memikirkan masa depan, tapi tampak aku tidak punya kuasa lebih untuk meramal masa depanku. Sehingga aku hanya bisa membuat sebuah rencana ini dan itu. Sebuah rencana yang setidaknya membawa semangat masa laluku.

Kenapa masa lalu? Karena aku merasa kehidupanku di masa lalu sangatlah menyenangkan. Penuh gairah, semangat, mimpi, target, capaian. Rasanya dulu aku selalu penuh dikelilingi api semangat. Kepergian kakakku cukup memporak porandakan semangatku, karena aku harus mengurung egoku, hingga aku merasa apiku redup. Namun seiring berjalannya waktu, aku menyadari, aku tidak boleh redup terlalu lama.

Di umurku yang 34 ini mungkin aku tidak lagi memiliki darah muda darahnya para remaja. Ketika aku berpergian sudah sering dipanggil ibu, ketika di supermarket akupun dipanggil bunda. Teman-teman seumurku sudah pada berkeluarga, tapi aku belum. Menurutku ini bukan sebuah kesialan, justru ini adalah kesempatan. Kesempatan untuk aku mengobarkan api semangat, untuk kembali berkarya dan mewujudkan mimpi-mimpiku. Kesempatan untuk melangkahkan kaki untuk lebih jauh lagi. Memperkaya wawasan dan pengalaman.

Aku ingin seperti Bob Sadino dan Jakob Oetama, ketika meninggal dunia yang dikenang adalah karya dan kebaikannya. Aku ingin seperti Ibu Susi Pudjiastuti, yang hingga masa tuanya tetap berkarya dan bekerja. Aku ingin membuat diriku lebih berarti, dengan caraku sendiri.

Jika bukan diriku, siapa yang paling menganggap diriku ini berarti.

Jika bukan diriku, siapa yang paling menyayangi diriku sendiri.

Ini bukan egois atau narsis, tapi ini menjadi sebuah bentuk penghargaan. Betapa aku menghargai diriku sendiri. Aku pun akan mencoba untuk menjadi lebih baik lagi dengan menghargai orang-orang di sekitarku dan lingkunganku.

Aku akan mencoba untuk lebih menikmati hidupku. Insyaalloh.

Bagaimana dengan jodoh? Aku menganggapnya itu menjadi sebuah bonus. Bukan sebuah penghalang. :)

Be always strong Melissa. Me always love you.

Crying when you're sad, laughing when you're happy, and rest when you feel tired

Happy birthday :)

Selasa, 25 Agustus 2020

Batas Tipis Hidup dan Mati

Saat ini aku sedang terbaring di atas tempat tidur sembari merenung. Merenungi beberapa kejadian yang pernah aku lewati. Ada yang seru, ada yang menyenangkan, ada yang menyedihkan, ada pula yang memosisikan aku di ambang hidup dan mati.

Kejadiannya tepat dua minggu yang lalu. Aku sedang pergi hiking bersama dengan rekan kerjaku. Medannya tidak terlalu menantang, hanyalah sebuah curug di daerah Subang. Kami berencana pergi selepas subuh, namun aku telat bangun. Akupun menjadi sedikit terburu-buru. Sejujurnya aku tidak begitu suka jika terburu-buru, namun nyatanya kuselalu terburu-buru. Aku datang paling terakhir saat itu.

Kami sepakat pergi ke sana dengan menyewa angkot, alasannya supaya lebih akrab. Aku memilih duduk di depan. Bukannya cule supaya bisa menikmati pemandangan, aku suka mabuk darat kalau naik angkot dan duduk di belakang. 

Dalam perjalanan kumelihat pancaran sinar Matahari pagi, menerkam kegelapan. Sungguh indah. Kendaraan kami pun seolah memecah kerumunan kabut pagi. Pohon-pohon pinus yang berada di sisi kiri dan kanan jalan bagai para among tamu yang menyambut kedatangan kami.

Perjalanan cukup cepat. Sebelum pukul 07.00 WIB kami sudah tiba. Perjalanan pun dilanjut dengan berjalan kaki. Medan aspal berubah menjadi bebatuan, pemandangan hutan pinus pun berubah menjadi hamparan kebun teh. Kupandang langit cukup berawan, sehingga sinar matahari pun tampak seperti pijar lampu yang menyinari Bumi. Aku yakin, hujan akan turun hari itu.

Hanya butuh setengah jam, aku dan rombongan tiba di pelataran curug. Melihat jeram-jeram kecil rasanya tak sabar ingin bermain air. Akupun segera menaruh bawaanku, melepas sepatuku, lalu kemudian memanjat tebing batu yang memagari jeram-jeram kecil tersebut.


Aku sudah tahu tujuanku jeram yang posisinya di paling atas. Di sana dasar jeram cukup dalam, sehingga aku bisa berenang bak di kolam. Menuju ke sana aku harus berjalan melipir tebing batu dengan sangat berhati-hati. Beberapa rekan ikut denganku. 

Keadaan air sangatlah dingin, aku merasa debit air pun cukup deras. Tapi itu tidak mengurungkan niatku bermain air. Aku dan rekan-rekanku berenang, bermain air, dan tertawa riang gembira.

Setelah kurang lebih satu jam, kami pun memutuskan untuk berpindah tempat menuju air terjun yang berada di bawah. Satu persatu keluar dari air, bersiap kembali untuk jalan melipir di tebing batu. Saat sedang berjalan, salah satu rekanku tampak ragu dan berhati-hati. Aku memerhatikannya, hingga aku kurang fokus dengan pijakanku sendiri.

Sepersekian detik, kakiku terpeleset. Aku meluncur jatuh dengan cepat. Tak ada yang bisa aku raih untuk bertahan, karena semuanya berupa bebatuan lincin. Saat itu aku merasa aku akan mati. Aku pun istighfar, dan menyebut kata maaf kepada ibuku. Aku pasrah.

Setelah mendarat, aku pun menyadari aku masih hidup saat itu. Aku sungguh sangat bersyukur. Aku langsung memeriksa seluruh badanku, apakah ada yang patah atau tidak. Sepertinya aman, namun kakiku nyeri sekali. Sakit yang luar biasa karena ternyata aku mendarat tepat dengan dua kaki yang lalu kemudian bertumpu di kaki kanan. Tempat aku mendarat bebatuan kerikil kecil yang tentu saja membuat sekujur badan bertambah nyeri. 

Aku membalikkan kepalaku, aku melihat ada sebongkah batu besar dengan ujung yang lancip. Ya Tuhan, aku sangat bersyukur tidak jatuh di atas batu tersebut. Aku lemas seketika. Aku melihat ke atas, cukup tinggi aku terjatuh, kira-kira 3 meter! Aku tidak bisa mengangkat badanku, kakiku sakit sekali dan tidak bisa menapak di bebatuan. Salah satu rekanku datang sambil mengatakan bahwa telapak kakiku yang sebelah kiri sobek mengeluarkan banyak darah. 

Aku lemas tak berdaya, rekan sebayaku datang untuk menolong. Tapi keadaanku masih syok. Aku memilih untuk duduk diam tidak bergerak untuk menenangkan diri. 

"Aku enggak apa-apa."

Rekanku memastikan berkali-kali. Aku memintanya untuk turun duluan, aku masih ingin duduk menenangkan diri dan meredakan nyeri. Setelah cukup tenang, aku mencoba untuk berdiri, kaki kananku sakit sekali untuk dipijak, akhirnya aku memilih menuruni tebing batu dengan menyeret pantatku pelan-pelan. 

Begitu berhasil tiba di bawah, salah satu rekan mencoba untuk membersihkan dan mengobati kakiku yang sobek. Linu rasanya. Aku panas dingin. Tapi ada hal yang cukup menarik perhatianku saat itu, sepertinya bentuk kaki kananku berubah. Aku panik tapi tetap mencoba untuk tenang. Rasanya ingin menangis, tapi aku yakin menangis tidak akan menyelesaikan masalah.

Aku meminta rekan sebayaku untuk mengecek kakiku. Menurutnya tidak ada masalah, mungkin hanya memar karena bertumbukan dengan bebatuan. Karena sugesti positif yang aku dapatkan, aku masih memaksakan diri berjalan dari pelataran curug menuju tempat parkir angkot. Aku berjalan dengan lambat, dibantu dengan tongkat dari kayu. Cobaan pun ditambah dengan hujan deras.

Di perjalanan pulang, aku masih berusaha untuk tenang. Aku meriang kedinginan saat itu. Aku mencoba untuk tidur, namun setiap aku memejamkan mata terbayang kejadian saat aku terjatuh yang membuat aku meringis ngilu. Setibanya di tempat kerja, setelah beberapa rekanku pulang, aku meminta salah satu rekan kerjaku untuk membersihkan lukaku. Disitulah tangisku pecah. Aku menangis seperti orang kesetanan. Rasa sakit, terancam, takut, trauma seolah menjadi satu.

Saat lukaku sudah dibersihkan. Aku berdiri dan berjalan, rasa sakit di kakiku maki  menjadi-jadi. Aku bingung aku harus bagaimana. Akhirnya aku memilih untuk pulang ke rumah dan beristirahat. Sambil tertatih-tatih aku jalan ke mobilku dan menyetir mobil pelan-pelan. Berat rasanya untuk membuka pagar, menutup pagar, parkir mobil, dan serangkaian hal yang harus aku lakukan sebelum masuk ke dalam rumah.

Aku tidak berani bilang ke ibuku tentang keadaanku. Apalagi kalau aku bilang aku hampir mati. Dengan bersusah payah aku masuk ke kamar, ganti baju, lalu rebahan. Aku menggigil parah saat itu. Aku tidak bisa tidur, karena setiap aku memejamkan mata, bayangan aku terjatuh kemudian mendarat di batu-batu pun mucul disertai rasa ngilu. Aku menangis sendirian saat itu. Aku menghubungi teman-temanku, tampak aku butuh pertolongan, tapi yang kudapat malah pertanyaan demi pertanyaan. Belom lagi mereka memberikan kemungkinan-kemungkinan buruk yang malah membuat aku makin putus asa. Di situlah aku mulai tidak lagi percaya dengan kata-kata, "kalau butuh bantuan hubungin aku aja."

Aku pun menghubungi temanku yang dokter, pertanyaan demi pertanyaan datang. Instruksi demi instruksi diberikan, yang rasanya tidak mungkin aku lakukan. Saat itu aku sedang trauma, sendirian, orangtua aku enggak tau keadaan aku. Aku pun minta pengertian, bukan instruksi seperti itu yang dibutuhkan. Aku hutuh langkah taktis yang harus aku lakukan saat ini, supaya aku bisa bertahan hingga esok pagi. Untungnya temanku yang dokter ini mulai paham, dan memberikan panduan yang menurutku tepat. Salah satunya adalah minun obat pereda sakit. Akupun akhirnya bisa tidur karena ketiduran setelah lelah menahan sakit.

Besok paginya aku melihat kondisi kakiku yang makin parah. Aku akhirnya bilang ke ibuku tentang keadaanku dan minta dibawa ke rumah sakit. Aku hanya bilang rerjatih saja, tidak memberikan detail kejadian. Untung saja ibuku tidak banyak tanya, dan dengan segera membawakubke IGD salah satu rumah sakit tulang.

Setelah melewati rangkaian pemeriksaan, ternyata tulangku patah huhuhu. Ada dua pilihan dioperasi pasang sekrup atau di gips selama 3 minggu. Aku terlalu takut menjalani operasi. Aku pun memilih untuk di gips saja, walaupun nantinya bentuk kakiku tidak seperti semula.


Hari-hari pertama memakai gips dan tongkat membuatku putus asa. Apalagi pada awalnya aku tidak tahu bagaimana cara berjalan memakai tongkat. Belum lagi cara untuk buang air kecil, mandi, dan kegiatan harian lainnya. Aku cukup sedih dan sering putus asa. Tapi kalau merasa mau menyerah, aku langsung mengatur pikiranku supaya bersyukur masih dikasih kesempatan hidup, hanya dikasih cobaan tulang kaki yang patah. Sebisa mungkin atur pikiran, ini bukan cobaan tapi ilmu baru dalam kehidupan. Lama-lama emosi bisa dikelola, mobilitas pun jadi terbiasa. Aku jadi mikir cara-cara yang membuat aku nyaman untuk berkegiatan sehari-hari. Hingga pada akhirnya aku bisa berdamai dengan keadaan.

Bersyukur banget hari ini aku masih bisa rebahan sambil menulis blog.


Minggu, 19 April 2020

Mencari Batang Sinyal di Pegunungan Bintang


Hampir seumur hidup aku, aku bermimpi untuk bisa pergi ke Raja Ampat, Papua. Aku ingin mengarungi lautan di sana, menjelajah pulau, kemudian menyelami keindahan bawah lautnya. Nah, tahun 2018 lalu, pada akhirnya aku mewujudkan impian aku ke Papua.

Rasanya hati ini bahagia tak terperi, mimpiku menjadi setengah kenyataan. Kok, setengah? Karena pesawatku tidak mendarat di Bandara Domine Eduard Osok di Sorong, untuk dilanjutkan ke Waisai, Raja Ampat. Pesawatku mendarat di Bandara Sentani, Jayapura, karena tujuanku ke Pegunungan Bintang. Hehehe.

Setiap perjalanan harus berdasarkan alasan dan tujuan. Itu prinsipku. Aku belum menemukan alasan dan tujuan yang kuat ke Raja Ampat, tapi aku punya alasan dan tujuan yang kuat ke Pegunungan Bintang. Waktu itu aku mengikuti rangkaian program Festival Puncak Papua, yang mana salah satu programnya adalah live in di daerah penempatan Pengajar Muda Indonesia Mengajar yang berada di Papua. Alasan dan tujuan ini lebih memanggil hatiku, daripada aku hanya menghabiskan waktu- dan uang- untuk berlibur di Raja Ampat

Lalu, ngapain aja aku di sana? Membantu Pengajar Muda yang bertugas di sana, bertahan hidup, dan mempelajari bagaiamana kehidupan masyarakat di Pegunungan Bintang.

Maka, lepaskanlah pikiran dari pemandangan Raja Ampat. Karena di Pegunungan Bintang, tidaklah kita akan bertemu lautan, sesuai dengan namanya, kita hanya akan melihat pegunungan. Ya, sejauh mata memandang hanya akan ada pegunungan.

Dari Sentani, aku menggunakan pesawat baling-baling kecil menuju Distrik Oksibil, Pegunungan Bintang. Bandara di Oksibil, seperti membawa kita ke masa silam. Bangunannya kecil dan  konvensional. Biar kata jauh akan teknologi, tapi bandara ini memiliki pemandangan yang sangat indah. Menurut sudut pandangku, loh, ya, secara, kan, aku suka naik gunung.

Begitu mendarat, begitu pula kita harus siap terpisah dengan informasi. Tidak ada sinyal di sini, kalaupun ada hanya sinyal sms. Mau internetan buat update media sosial? O O O tidak bisa.

Dari Distrik Oksibil, aku masih harus melanjutkan perjalanan ke Bumbakon, salah satu desa di Distrik Oksop, Pegunungan Bintang Papua. Untuk tiba di mata jalan desa ini, aku harus berkendara terlebih dahulu menggunakan motor yang waktu tempuhnya kurang lebih 90 menit.

Sampai? Belum!

Dari mata jalan, aku harus lanjut trekking manis sejauh 10km untuk tiba di Bumbakon. Medan yang dilewati cukup beragam. Ada wahana lumpur, wahana hutan, wahana bebatuan, ada wahana jalan setapak yang melipir bukit. Aku harus berjalan naik bukit, turun bukit, belok kiri, belok kanan, manjat pager kayu penghalang babi, turun bukit bebatuan, dan naik bukit bebatuan. Pokoknya jalan sekitar 4-5 jam, barulah kita tiba di Bumbakon.

Aku menginap di rumah dinas Fauzan, akrabnya, sih, dipanggil Ojan. Dia Pengajar Muda yang bertugas di sana. Boro-boro sinyal, listrik aja enggak ada di sini. Penerangan menggunakan lampu bertenaga Matahari. Peralatan elektronik diisi daya baterainya dengan meminjam aki yang berada di sekolah. Itu pun dayanya naik turun, tergantung langit lagi ketutup awan atau tidak.

Lantas, bagaimana caranya jika ingin berhubungan dengan orang kota? Gampang, balik lagi aja ke kota hehehehe. Atau kamu bisa titip pesan ke warga yang hendak pergi ke kota untuk belanja. Alternatif lain adalah pergi mendaki ke bukit sinyal.


Lihat dataran berasap di atas sana? Nah, itu adalah bukit sinyal Desa Bumbakon. Entah bagaimana caranya di bukit itu kita bisa menelepon dan mengirimkan pesan singkat. Dengan catatan, gawai dan provider yang kita gunakan mumpuni, ya. Telepon genggam kamu mahal berteknologi canggih? Bye! Telepon genggam yang bisa digunakan hanyalah Noki* cengcengpo. Si telepon genggam jadul itu, lho. Tapi kalau beruntung, telepon genggammu juga bisa. Yah, memang di daerah seperti ini tidak ada yang pasti.


Jalan ke sana enggak gampang, lah, ya. Waktu tempuhnya satu jam, Harus turun bukit, menyebrangi sungai, naik bukit, melewati beberapa perkampungan, dan melewati kandang babi punya orang. Melewati kandang babi ini bukan perkara mudah. Babinya besar-besar, bo! Meleng dikit bisa diseruduk kita. Enggak lucu, kan, kalau kita kenapa-kenapa di tengah pegunungan karena diseruduk babi?


Nah, ini pas kita mau lewat kandang babi terakhir. Eh, si babi-babi ini kayak udah siap menyambut buat menyeruduk. Buset gede benerrrrr. Ngeri, sumpah!!! Kita gak bisa juga macem-macem sama ni babi. Kalau kita lempar batu, terus batunya kena si babi, kemudian babinya kenapa-napa atau mati, bisa-bisa kita kena hukum adat dan didenda hingga puluhan juta. Waduh, gawat amat ini risikonya cuma gegara pingin nemu batang sinyal buat nelepon.

Untungnya, aku ditemani putri-putri daerah yang cukup bisa diandalkan dan pegang kendali. Mereka punya trik khusus buat mengalihkan perhatian para babi, sehingga aku yang cupu ini bisa memanjat pagar, melenggang kangkung melintasi kandang, untuk tiba di bukit sinyal.


Masyarakat Bumbakon, harus berjalan ke sini kalau mau bertukar kabar dan informasi via telepon dengan kerabat mereka di kota. Gila perjuangannya, ya. Eh, tapi, perjuangan yang berat itu menurut aku, loh, ya, kalau menurut mereka, mah, perjalanan ke bukit sinyal mah "kecil". Macam kayak kita kalau mau beli pulsa ke minimarket, tinggal ngesot, nyampe.

Tata cara menelepon pun tidak sembarangan. Telepon genggam harus disimpan di atas ranting yang sudah ditanclebin ke dalam tanah. Ranting di desain sedemikian rupa agar bisa menjadi wadah telepon. Posisi menentukan prestasi. Kalau posisi tidak tepat, jangan harap telepon berdering. Jika posisi sudah tepat, pertahankan. Karena kalau diangkat atau kesenggol dikit ajah, sinyalnya hilang. Hhahahahaha.


Gila, perjuangan banget, ya, hanya untuk mencari batang sinyal di sini. Cukup memberikan cerita dan pengalaman yang luar biasa kepadaku.

Terus waktu itu aku nelepon siapa? Enggak nelepon siapa-siapa, enggak ada yang harus aku hubungi, kok. HAHAHHAHAHAHA.

Bermonolog di Rumah Aja

Hari ini, keresahan diam di rumah kembali datang. Sudah satu bulan lebih aku menghabiskan waktu di rumah. Aku cukup patuh buat enggak ke mana-mana, mama pun sama. Kami sama-sama menjaga diri, tidak mau mengambil risiko dan menantang si virus corona.

Lama diam di rumah, enggak ketemu banyak orang membuat aku hanya bermonolog. Kadang muncul ide-ide spontan yang cukup bisa menghibur diri sendiri. Tapi enggak jarang juga seketika muncul pemikiran-pemikiran penuh refleksi, yang berakhir dengan rasa resah.

Selama diam di rumah aja, aku hanya bersama mama dan seorang pegawai. Ya, bertiga saja. Walaupun aku jauh lebih beruntung jika dibandingkan teman-teman yang hidup sendirian di kamar kost-nya, tapi tetap merasa sepi.

Mamaku bilang, "Kita hidup cuma berdua aja, kalau mama mati kamu gimana?"

Pertayaan yang aku tidak bisa jawab. Yang pada akhirnya hanya membuat aku murung. Apa yang harus aku jawab? Jawaban seperti apa yang diharapkan mama aku?

Aku tahu, enggak selamanya aku harus tutup mata dan tutup telinga dengan situasi di dalam keluargaku ini. Cuma jika dituntut untuk jujur, ya, aku enggak tahu harus bagaimana. Rasanya ini di luar kuasa aku. Aku tidak punya kekuatan supranatural yang bisa mengetahu langkah taktis seperti apa yang cukup tepat untuk aku lakukan.

Berdoa? Entahlah.

Aku cukup sadar aku terlalu membuat asyik hidup aku sendiri. Tapi menurutku, ini langkah yang paling tepat, langkah yang cukup membuatku nyaman dengan kenyataan ini. Hanya saja, aku tidak tahu sampai kapan aku harus asyik dengan hidup aku sendiri.

Hal-hal sederhana saja, ketika pompa air di rumah rusak, ketika ada gangguan listrik, ketika gagang pintu rusak, ketika hujan besar membuat air merembes masuk lewat langit-langit kamar mandi, dan masih ketika-ketika lainnya terjadi, aku enggak bisa asyik sendiri. Tapi aku juga gak punya pengalaman untuk bisa mengatasi hal-hal tersebut. Mama bingung, aku sudah pasti lebih bingung pangkat tiga daripadanya.

Banyak cara yang kami lakukan, mama tepatnya, telepon sana-sini untuk mencari solusi. Aku mencari tahu informasi secara singkat via internet. Setidaknya ada landasan yang aku ketahui tentang masalah-masalah yang dihadapi. Untung saja, masih ada yang mau membantu kami, di tengah orang-orang yang memiliki pemikiran bahwa kami akan selalu baik-baik saja karena kami dianggap keluarga yang mampu. Toxic people/

Apa yang menguatkanku? Ada beberapa teman yang memiliki nasib yang sama denganku saat ini. Setidaknya kami saling menguatkan. Tidak bisa memberikan bantuan secara nyata, tapi setidaknya memberikan kekuatan tak kasat mata. Seolah mengobati hati yang terkadang lelah ini.

Banyak yang bilang, "Ya, namanya juga kehidupan."

Aku pun sadar betul dengan rangkaian kalimat tersebut. Namanya juga hidup, dihadapi. Kalau didiami hanya akan bertumpuk menjadi daki.

Kembali ke pertanyaan mamaku, "Bagaimana kalau mama mati?"

Salah satu solusi yang terpikirkan olehku saat ini adalah, aku akan mempersiapkan diriku sendiri. Aku akan siap jika memang pada akhirnya aku harus hidup sendiri. Pasti akan banyak perubahan, tapi, ya, namanya juga hidup. Aku sudah mulai terbiasa dengan perubahan karena dipaksa oleh keadaan. Kuncinya, ikhlas.

Hanya jawaban itu yang terpikirkan olehku. Karena aku tidak pernah tahu rencana Tuhan itu seperti apa :)

Sabtu, 11 April 2020

Diganggu Makhluk Tak Kasat Mata di Kamboja



Barusan nonton drama Korea yang judulnya Hotel del Luna. Genre-nya horror komedi romantis gitu. Aku suka alur ceritanya, seru. Jadi ceritanya itu tentang seorang perempuan yang kena kutukan. Perempuan ini enggak bisa mati dan dia harus mengelola hotel. Hotelnya bukan hotel biasa. Bukan dipersembahkan untuk manusia, tapi dipersembahkan untuk arwah yang belum bisa menemukan jalan ke surga atau neraka.

Aku jadi ingat pengalaman aku dan teman-temanku, Aisha, Dina, dan Sitti, ketika pergi ke Kamboja, tahun 2014 lalu. Waktu itu kami berencana ke Angkor Wat, jadi kami pun mencari penginapan yang dekat dengan destinasi tersebut. Maka dipilihlah hotel di daerah Vithei Charles De Guals, Corner Jayavaman. Selain karena jarak, penginapan tersebut dipilih karena murah tapi dapat kamar yang cukup mewah.


Ini penampakan kamar hotelnya. Di satu kamar ada dua tempat tidur berukuran besar, yang satu berada di sisi sebelah kiri kamar (jika dilihat dari foto), dekat jendela yang pemandangannya ke jalan raya. Yang satu lagi di sisi sebelah kanan kamar, dekat pintu masuk. Di antara keduanya ada lorong dan kamar mandi.

Begitu tiba di kamar, kita berdecak kagum dengan fasilitas yang diberikan. Saat itu aku dan Dini memilih tempat di sisi kiri kamar. Aisha dan Sitti di sisi kanan kamar. Kami pun menikmati suasana, sambil bercerita dan tertawa terpingkal-pingkal. Sungguh ribut. Aku lupa saat itu kami sedang bercerita tentang apa.

Sorenya kami pergi ke pasar malam. Aku lupa di mana letak pasar malamnya. Hehehehe. Maklum, lah, yah, udah 6 tahun yang lalu. Di sana kita mau belanja pernak-pernik Kamboja, entah itu baju, tas, magnet, gantungan kunci, pokoknya intinya belanja.

Saat itu kami berpencar, karena barang yang kita cari berbeda-beda. Kebetulan saat itu aku bersama dengan Aisha. Kami masuk ke dalam satu toko yang menjajakan baju dan tas. Ketika aku sedang melihat-lihat baju, Aisha memanggil. Dia ingin membeli tas, dan meminta pendapatku tentang model tas yang oke. Tas-tas ini digantung di bagian atas etalase toko. Aku dan Aisha pun haru mendongakkan kepala sambil tunjuk-tunjuk tas yang dimaksud.

Sambil melihat-lihat tas yang ada di atas, aku dan Aisha bergerak maju mundur, ke kiri ke kanan. Sampai pada akhirnya.

BRAAAAAAKKKKKK

Aku menendang sesuatu hingga jatuh. Barang ini tidak terlihat, karena tertutup oleh etalase baju yang ada di bawah. Aku pun langsung melihat apa yang aku tendang secara tidak sengaja itu, ternya itu adalah SESAJEN!!! Aku kaget setengah mati, yang punya toko misuh-misuh gara-gara sesajennya ketendang. Ya, lagi, dia naro sesajen di bawah, ketutupan pula ama dagangannya, kan, enggak kelihatan. Melihat si pedagang sewot, aku pun minta maaf. Bahkan aku pun meminta maaf kepada sesajen, dengan cara menempelkan kedua telapak tangan di depan dada dan sedikit membungkuk. Aku lupa, deh, setelah kejadian itu, Aisha jadi beli tasnya apa enggak, ya. Atau malah aku yang jadi beli. Atau justru kita malah enggak beli apa-apa karena ada insiden tidak menyenangkan.

Setelah melihat-lihat barang, kita tidak langsung pulang, tapi makan malam dulu sambil rumpi-rumpi manis. Setelah perut kenyang kita buru-buru balik ke hotel, mengingat besok kita mau ke Angkor Wat pagi hari. Kita nyampe di hotel entah jam delapan atau jam sembilan malam, deh.

Begitu tiba di kamar, kami ke sisi tempat tidur masing-masing. Namun tiba-tiba, di bagian sisi kiri lampunya mati, nyala, mati, nyala, kemudian mati. Akhirnya aku dan Dina pun ke sisi kanan. Kemudian gantian, bagian sisi kanan yang mati, nyala, mati, nyala. Akhirnya, kita pun nelepon pihak hotel buat ngecek kenapa lampunya kayak gitu.

Pas si pelayan hotel datang, tidak ada lampu yang mati. Semua lampu tetap menyala. Dia cek semua lampu, tapi keadaan baik-baik saja. Akhirnya si pelayan pun kembali. Aku dan teman-teman merasa aneh. Enggak lama kejadian pun berulang kembali, kita kembali memanggil pelayan hotel. Si pelayan kembali kebingungan karena tidak ada masalah dengan lampu maupun listriknya. Tapi demi kenyamanan kita, si pelayan pun mengganti lampu kamar. Sembari mengganti lampu, sembari dia berbicara dalam bahasa Kamboja. Pelayannya sendirian, loh, ya.

Hati kami pun tenang setelah lampu kamar pada diganti. Aku pun pergi ke kamar mandi untuk menggosok gigi. Kamar mandinya cukup besar, dengan kaca wastafel yang juga sangat besar. Saat aku yang lagi gosok gigi, lampu kamar mandinya mati. Aku pun mengeluarkan badanku dari pintu kamar mandi, sambil ngomong, "Eh, jangan dimatiin dong lampunya." Saklar lampu ada di lorong. Tapi begitu aku mengeluarkan badan dari pintu, tidak ada satu orang pun yang berada di lorong.

Aisha dan Sitti nongol dari sisi kanan, sementara Dina ada di sisi kiri. Kami hening sejenak. Lalu kemudian lampu kamar mandi menyala sendiri. Kemudian apa yang terjadi? Lampu kembali nyala mati. Kali ini nyala matinya berputar, sisi kanan kamar, kamar mandi, sisi kiri kamar, lorong, dan terus berputar. Kami pun ketakutan setengah mati sambil berteriak histeris, lalu kemudian berkumpul di sisi kanan kamar. 

Kami kembali menelepon pelayan hotel. Ketika dia datang, kejadian lampu mati nyala pun tidak terjadi. Pelayan yang datang bingung, kami ketakutan. Akhirnya si pelayan berjalan ke sisi kiri kamar
dan kembali berbicara dalam bahasa Kamboja. Dari nadanya, aku yakin, si pelayan ini sedang berdoa.

Setelah si pelayan pergi kami berkumpul di sisi kanan kamar. Dan apa yang terjadi, lampu kembali mati nyala. Lalu kemudian, kami pun berdoa dan meminta maaf. Saat itu kami berpendapat, si penunggu kamar merasa terganggu dengan kedatangan kami yang ngobrolnya ribut banget dan ketawa berlebihan. Dalam jangka waktu yang cukup lama, tidak ada kejadian lampu mati nyala. Kami pun agak tenang dan berusaha untuk beristirahat.

Di sisi kanan kamar, ada dua single bed. Satu kasur jadinya berdua. Sumpah ini enggak enak banget, sempit. Akhirnya aku ngajak Dina buat kembali ke sisi kiri. Tapi Dina ketakutan. Entah kenapa waktu itu aku meyakinkan Dina buat jangan takut. Aku ingat kata-katanya mamah, bahwa derajat manusia itu paling tinggi dibandingkan makhluk-makhluk lainnya di dunia ini.

Akhirnya Dina pun mau ikut ke sisi kiri kamar. Kita naik ke kasur dan aku mengajak Dina untuk berdoa. Kami membaca beberapa surat dari kitab suci Alqur'an. Setelah itu aku lanjut berdoa dengan bahasa Indonesia. Eh, tapi lebih kayak ngobrol, sih, aku bilang seperti ini:

"Maaf kalau kami ganggu. Kami tidak ada niat untuk mengganggu. Kami datang ke sini dengan niat baik. Kami hanya mau liburan, tidak ada maksud jahat lainnya. Jika memang kami mengganggu, kami mohon maaf sebesar-besarnya. Saya mohon, jangan ganggu kami lagi."

Setelah kami berdoa, tidak ada kejadian lagi. Aku pun tertidur. (Si Dina yang cule itu sempet mau ninggalin aku tidur sendirian di sisi kiri, saat aku udah tertidur. Jahat emang. Untung cuma niat gak dilakuin.

Jam lima pagi aku terbangun oleh alarm. Duh, badan rasanya lelah banget. Kami pun bersiap-siap dengan tenang, enggak rusuh. Kami pergi ke Angkor Wat pagi-pagi sekali, karena mau melihat Matahari terbit. Tapi habis lihat Matahari terbit, kita akan kembali lagi ke hotel buat sarapan dan mandi, kemudian balik lagi ke Angkor Wat buat keliling kuil. Iya, bulak-balik.

Begitu nyampe di hotel, kami disambut oleh sang manajer. Kami ditanya-tanya tentang bagaimana pengalaman kami di Angkor Wat. Ramaaaaah banget. Kita sampai bingung. Udah gitu kita diajak makan di tempat VIP. Kita pun bertanya-tanya, kenapa orang ini, kok, menyambut kita dengan spesial. Sementara ke tamu-tamu lain biasa-biasa aja. Kami saat itu, sih, yakin, si manajer udah dapet cerita tentang kejadian mati lampu kita. Makannya dia jadi baik banget.

Pas kita mau pergi ke Angkor Wat lagi, dia pun mengantar kepergian kami sambil meminjamkan topi tradisional Kamboja kepada kita. Katanya biar kita enggak kepanasan. Tapi topi ini sangatlah usefull. Buset, panasnya Kamboja saat itu, enggak ada obatnya. Panas pake banget, bangetnya pangkat empat. Jalan aja sampai sempoyongan. Sitti aja sampai mimisan.


Pulang dari Angkor Wat, si manajer hotel kembali menyambut kami.

Singkat cerita, ketika kembali ke Indonesia, aku pergi menemui teman kantorku di kantin. Saat itu aku masih menjadi reporter di Natgeo Kids Indonesia. Temanku ini bisa melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh orang normal. Bahkan dia juga bisa merasakan ada sesuatu atau enggak.

Temanku itu ada dua orang, Mba Shinta dan Mba Didi. Orang yang pertama aku tanya si Mba Shinta.
"Mpok, ada yang ngikut gak di belakang aku?" Hahahaha... entah kenapa aku masih takut-takut saat tiba di Indonesia. Si Mba Shinta bilang enggak ada apa-apa. Dia tanya kenapa, aku ceritain kejadian saat di Kamboja.

Mba Didi yang menyimak cerita sambil manggut-manggut dan merokok, tiba-tiba mengangkat telepon dari pacarnya Mas Nugie (sekarang udah jadi suaminya). Mba Didi pun menceritakan kejadian aku itu ke Mas Nugie. Tiba-tiba, Mba Didi bilang gini:

"Mel, kata Nugie, lu waktu di Kamboja nendang sesuatu, gak?"

Aku bingung, dan mengingat-ingat, flashback perjalanan waktu ke Kamboja itu. Sampai akhirnya aku inget, kejadian tak sengaja menendang sesajen saat di pasar malam.

"Kata Nugie, lu di sana nendang sesuatu. Yang ditendang marah, makannya ngikutin lu ke hotel terus ngegangguin elu. Tapi untung lu waktu itu berdoa dan minta maaf, yang ganggu lu jadi enggak marah-marah lagi."

Wah, takjub gue. Padahal beberapa informasi enggak aku ceritain, tapi Mas Nugie bisa menerawang dan apa yang dia omongin benar semua. Sampe merinding gue saat itu.

Ini pengalaman pertama aku digangguin makhluk lain ketika lagi travelling. Setelah kejadian ini, aku selalu berusaha untuk menjaga sikap, perilaku, dan kata-kata ketika pergi ke tempat orang. Sungguh pengalam ngeri-ngeri sedap, yang enggak akan aku lupa.

Minggu, 22 Maret 2020

Di Rumah Aja, Tantangan Berat Bagi Si Ekstrovert

Sudah lama tidak update. Alasannya karena malas. Selain itu karena sudah jarang membuat tulisan naluri seorang penulis pun seolah sirna dari dalam diri aku. Hehehehe (banyak alasan). Tapi ada satu alasan mengapa akhirnya aku menulis malam ini.

Aku teringat akan Christopher Columbus si penemu Benua Amerika. Semua orang enggak akan tahu bagaimana sejarah penemuan benua Amerika jika bukan karena Columbus membuat catatan perjalanan. Zaman dahulu orang-orang lekat akan menulis buku harian, selain untuk curhat atau menuliskan kata-kata puitis, mereka juga menulis tentang kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya. Kejadian ringan sampai kejadian besar yang memiliki dampak yang signifikan untuk kehidupan orang banyak.

Ya, aku ingin tulisan ini bisa menjadi saksi sejarah. Jika bukan untuk orang banyak, mungkin bisa untuk anak cucu aku (amin, ya, Alloh).

Aku saat ini sedang duduk di ruang tivi di rumah. Aku duduk termenung sendiri dalam keadaan gelisah dan tidak tenang. Kenapa keadaan aku seperti ini, karena jiwa ekstrovert aku mulai meronta-ronta. Ya, semenjak mewabahnya virus corona di dunia, termasuk di Indonesia, pemerintah setempat menyarankan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk diam di rumah. Alasannya untuk menekan penyebaran virus ini. Semakin orang menjaga jarak dengan diam di rumah masing-masing, mengarantina diri sendiri, semakin sulit virus menyebar.

Aturan seperti ini dibuat pada 16 Maret 2020. Keputusan yang sangat lambat, karena virus sudah mewabah sejak akhir Desember 2019. Ketika berita tentang virus ini mencuat ke permukaan, pemerintah terkesan sombong. Alih-alih mempersiapkan diri, malah ingin membayar seorang influencer supaya bisa meningkatkan kunjungan pariwisata (di tengah mewabahnya virus yang menyerang sistem pernapasan ini). Hingga akhirnya pemerintah kalang kabut ketika mendapat kabar ada dua orang yang berasal dari Depok terkena virus ini akibat berinteraksi dengan orang Jepang di tempat kerjanya.

Tanggal 15 orang-orang mulai panik. Semua memborong hand sanitizer, masker, sembako dan barang-barang lainnya untuk bertahan hidup. Saat itu aku sedang berada di Jakarta, kota yang memiliki jumlah suspect yang begitu tinggi. Aku pergi tanpa membawa hand sanitizer, hanya masker dua lembar. Aku pasrah, dan mengandalkan fasilitas hand sanitizer yang ada di tempat umum. Dari artikel-artikel yang aku baca, virus ini tidak menyebar via udara. Orang yang terpapar oleh virus ini punya gejala batuk pilek. Ketika mereka batuk dan bersin (tanpa menutup mulut atau memakai masker), virusnya akan menyebar dan menempel di mana-mana. Jika dia menutup mulutnya pakai tangan, maka besar kemungkinan virusnya menempel di mana-mana. Ketika kita menyentuh apa yang dia sentuh, lalu kita makan atau menggosok mata, maka bisa banget kita ketularan.

Di Jakarta pencegahan penyebaran sudah dilaksanakan dengan menyediakan hand sanitizer di tempat umum. Pengecekan suhu tubuh pun selalu dilakukan saat kita mau masuk ke tempat umum, kalau suhu tubuh kita di atas 38, maka kita tidak boleh masuk ke tempat umum atau naik transportasi umum.

Aku yang tadinya biasa-biasa aja jadi parno. Suhu udara Jakarta yang cukup panas, membuat daya tahan aku melemah. Di luar ruangan panas, di dalam ruangan dingin. Kan, bikin kepala jadi pusing, bersin-bersin. Sekalinya minum dingin langsung gatel tenggorokan. Tapi aku yakin ini hanya gejala "gak enak badan" pada umumnya, soalnya aku memang tidak memiliki riwayat yang memungkinkan aku terkena virus corona. Seperti berpergian ke luar negeri selama dua minggu terakhir atau berinteraksi dengan orang asing. Rasanya ingin pulang ke Bandung secepatnya.

Ngapain, sih, di Jakarta. Ke Indofest sekalian aku harus urus beberapa keperluan penting yang belum sempat aku urus saat pindah ke Bandung (dari Jakarta) tahun lalu. Seperti urusan perbankan, surat-surat penting, dan penandatangan dokumen apartemen aku. Jadi bukan buat liburan, tapi emang kebetulan aja harus ke Jakarta.

Tanggal 15 malam, grup sekolah aku (aku saat ini berprofesi sebagai guru di salah satu sekolah swasta di Bandung) heboh dengan situasi saat ini. Banyak orangtua yang mempertanyakan apakah aman atau tidak jika anak tetap beraktivitas di sekolah. Diskusi berjalan hingga malam hari, sampai akhirnya keluarlah surat edaran dari Kang Oded, Wali Kota Bandung, yang menyetakan kebijakan bahwa seluruh warga Kota Bandung dihimbau untuk lebih waspada dengan berperilaku hidup bersih dan sehat di berbagai tempat, serta menghindari keramaian dan perjalanan tidak penting. Salah satu butir dari kebijakan tersebut juga menyatakan untuk memberlakukan pembelajaran jarak jauh melalui media daring bagi peserta didik pada satuan pendidikan di bawah kewenangan Pemkot Bandung (PAUD/TK, SD, SMP, LKP, LPK, dan PKBM).


Seiring dengan pengumuman tersebut, maka viral-lah hastag #workfromhome dan #schoolfromhome.

Sebagai salah satu praktisi pendidikan, maka akupun patuh dengan kebijakan tersebut.

Hari pertama aku bahagia. Bahagia banget. Tidak perlu bertatap muka dengan siswa, tidak perlu bangun pagi lalu bermacet-macet ria untuk pergi ke sekolah, enggak perlu mikir pake baju apaan (pake piyama juga bisa), kerja bisa sambil leyeh-leyeh, koordinasi menggunakan media daring, enggak perlu jajan karena makan masakan mama. Pokoknya mantap, deh.

Aku menertawakan teman-temanku yang bikin status, "aduh, gak betah banget di rumah," atau mempermasalahkan kebosanannya diam di rumah karena mereka adalah golongan kaum ekstrovert. Aku nyinyir dalam hati, kok, bisa-bisanya mereka kurang enjoy. Kita hanya perlu enjoy dengan berdiam diri di rumah.

Hari kedua, masih merasa hal yang sama. Hari ketiga dan keempat pun sama. Sampai di hari ke lima, tepatnya ketika aku menulis tulisan ini, aku memiliki perasaan gelisah yang begitu tinggi. Aku resah. Iya, aku resah hingga tidak bisa duduk diam. Timbul perilaku-perilaku yang menuntut aku untuk bergerak. Seharian ini aku mencoba menyibukkan diri semenjak pagi. Bangun tidur, setelah sarapan, aku main sepatu roda keliling rumah hampir 1 jam. Siang hari aku main sepeda statis. Sore hari aku treadmill.

Iya, setiba-tiba aku ingin ketemu dengan orang. Aku ingin ngobrol, berinteraksi, bersosialisasi, pokoknya keluar dari rumah. Aku jadi ingin berteriak, "JIWA EKSTROVERTKU MERONTA-RONTA". Salah satu cara untuk orang ekstrovert me-recharge energi rohaninya kan memang bersosialisasi dengan orang lain. Maka apa yang aku lakukan? Aku aktif banget di sosial media, komen sana sini, bikin ig story biar ada yang komen ngajak ngobrol, bikin postingan IG, nge-chat sahabat-sahabat aku. Ya, pokoknya aku selalu mengusahakan untuk berinteraksi dengan orang. Yang paling di luar kebiasaan adalah, belanja online. Iya, aku jarang banget belanja online. Cuma buat bisa berinteraksi dengan penjual atau pengantar.

Kenapa enggak keluar aja? Masih banyak, kok, orang-orang juga yang santai nongkrong di cafe dan jalan-jalan di mall. Karena moral! Ada sebuah saringan di dalam diri ini yang membuat aku pribadi tidak mau melakukan hal-hal yang menurut aku tidak benar.

Kegelisahan ini membuat aku tidak bisa beristirahat tepat waktu. Aku selalu tidur di dini hari, walaupun seharian badan dipakai berolahraga. Huhuhuhu...

Aku enggak nyangka, kepribadian seperti ini, yang aku anggap menyenangkan, ternyata bisa membuat aku gelisah di tengah situasi seperti ini. Aku sungguh berharap, semua keadaan bisa baik-baik aja.

Jumat, 03 Januari 2020

Perjalanan Patah Hati

Setahun lalu, tepat di tanggal ini, aku sedang berada di Ende, Flores, Nusa Tenggara, Timur. Aku resah dan cemas, rasanya ingin pulang. Sehari sebelumnya, tanteku mengabarkan kakakku sakit, kondisinya tidak baik dan sudah tidak berdaya. Sungguh kabar tiba-tiba.

"Lusa Ade pulang, langsung ke Bandung," ujarku.

Aku merebah di kamar salah seorang warga yang kutumpangi rumahnya. Pikiranku melayang entah kemana, hingga akupun tertidur.

Lewat tengah malam waktu Indonesia bagian tengah, teleponku berdering. Nama mama tertera di layar. Begitu kuangkat, jauh di ujung sana Mama menangis dengan histeris semabari menyuruhku pulang saat itu juga. Begitu aku tanya alasannya kenapa, dia pun menjawab:

"AA meninggal," sambil menangis seraya meraung.

Jantungku berdegup dengab kecang, aku menangis menjadi seperti orang gila. Seisi rumah tempatku menginap terkejut dengan kabar yang kuberikan.

Pikiranku buntu saat itu. Aku hanya menangis menjadi-jadi. Orang di sekitarku sibuk, ada yang mengemas barang-barangku, ada yang membatalkan tiket pesawatku, ada juga yang mencarikan tiket pesawat tercepat menuju Bandung.

Teleponku tidak berhenti berdering. Aku sempat kesal, Apa yang mereka harapkan? Aku bahkan tidak tahu mengapa kakakku meninggal. Aku hanya mengangkat telepon dari orang-orang yang kuanggap penting.

Aku menelepon sahabat-sahabatku yang bisa menggantikan aku di Bandung. Yang bisa menjadi mata dan ragaku di sana. Aku yakin mamahku panik dan tak berdaya sama denganku. Hanya itu yang bisa aku lakukam, sisanya aku hanya menangis.

Hampir subuh sodaraku memberi kabar tentang tiket pesawat yang terefektif yang bisa membawaku tiba di Bandung dengan cepat. Setidaknya jam 4 sore aku sudah bisa tiba di Bandung. Aku memintanya memesan untuk dua orang, rasanya aku tidak bisa melewati perjalanan pulang ini seorang diri.

Aku tak berhenti menangis hingga waktu kepulanganku tiba. Sesak dan lelah. Akubmembayangkan harus 3 kali transit sambil pindah pesawat. Rute yang harus aku lewati Ende - Kupang, kemudian direct Kupang-Surabaya. Dari Surabaya aku harus ganti maskapai, pindah terminal, sambil membawa barang bawaan yang begitu banyak sambil berlari kecil, jadwalnya cukup mepet. Untung penerbangan sesuai jadwal, karena kalau tidak, aku mungkin akan ketinggalan pesawat di penerbangan selanjutnya.

Aku ingin melihat kakaku untuk terakhir kalinya, sehingga pintaku saat itu adalah, jangan dikubur sebelum aku pulang. Tapi semua orang meminta agar aku ikhlas, supaya kakakku bisa dikubur secepatnya. Aku bersi kukuh tidak mau, pokoknya aku harus ditunggu. Mamaku menangis, aku tak peduli. Hp aku matikan, lalu menangis kemudian.

Ketika tiba di Kupang, HPku berbunyi tak kunjung usai. Aku hanya diam sambil menangis.

"Kak, ikhlaskan saja. Kasian Mama. Kasian pula jenazah kakaknya Kak Mel, semakin cepat dikubur semakin baik. Ikhlas Kak, nanti begitu tiba kita langsung datangi kuburnya," ujar Totok, teman seperjalananku, saat itu.

Akhirnya kuangkat telepon, dan aku berkata, "iya, kuburkan saja." Di ujung telepon bisa kudengan sirine ambulance pun berbunyi. Kututup teleponku. Tak lama saudaraku menelepon, aku hanya bilang kepadanya untuk mengabadikan prosesi pemakaman dalam bentuk video.

Sepanjang perjalanan, aku menangis, kemudian tertidur karena lelah. Terbangun, kembali menangis, lalu kemudian tertidur kembali. Terus seperti itu hingga mendarat di Bandara Husein Sastranegara, Bandung.

Saat itu pukul empat sore, aku dijemput oleh tanteku. Dia memelukku sambil menangis. Aku bilang padanya aku ingin ke makam.

Bandung sangat macet saat itu, aku tiba di makam mendekati maghrib. Aku turun dari mobil, lalu aku melihat kubur baru terhiasi bunga tabur dan bunga ucapan duka cita. Kubaca nisan, tertera nama kakakku di sana.

Patah hati ini, berkeping. Sakitnya menyelekit hingga ke tenggorokkan. Aku tak pernah siap untuk menghadapi ini. Aku enggak pernah membayangkan kakakku pergi begitu cepat, ketika aku tidak berada di tempat. Tak ada ucapan selamat tinggal, tidak ada pelukan. Tidak ada perpisahan.