Orang berbadan gendut sering kali
dipandang sebelah mata, sering dianggap tidak mampu melakukan aktivitas fisik,
dan sering kali dianggap sebagai beruang sirkus yang lucu. Sehingga sebagian
besar orang gendut pada akhirnya minder untuk beraktivitas fisik, dan lebih
memilih untuk melakukan aktivitas yang sekiranya tidak akan mendapat nyinyiran
dari pemirsa. So, sad!
Aku sebagai orang yang
berbadan gendut ingin mematahkan opini publik yang seperti itu. Aku aktif
berolah raga, dari SMA. Aku tidak peduli ketika aku berlari dengan lambat, kan
yang penting lari. Aku juga tidak peduli ketika berolahraga tapi lemakku bergoyang
semua, namanya juga gendut. Aku juga tidak mempedulikan ketika aku dibilang
cepat lelah, namanya juga olahraga mana ada yang enggak lelah. Aku ikut cabang
olahraga hoki, suka diejekin, bahkan dijadikan seorang kiper. Aku, sih,
terima-terima saja. Aku anggap itu mengasyikan karena aku hanya diam di depan
gawang, HAHAHA. Tapi, siapa sangka, kegetolan aku menjadi kiper membuat aku
menjadi seorang atlet hoki atas nama kontingen Jawa Barat untuk berjuang di Pra
Pon tahun 2007.
Setelah tidak aktif di
hoki, aku mulai suka jalan-jalan. Aku suka backpackeran ala-ala, modal dikit
tapi keliling ke mana-mana. Tadinya hanya ke kota-kota besar aja jadi turis,
tapi lama-kelamaan jadi penikmat wisata alam. Kategori “gunung” yang paling
pertama aku datengin itu Gunung Bromo, sekitar tahun 2009. Dari
perjalanan itu jadi suka banget naik gunung.
Di daerah kampusku di
Jatinangor, ada satu gunung yang sering dijajaki oleh mahasiswa. Namanya Gunung
Geulis. Konon makam yang ada di gunung tersebut adalah makam Nyi Po Ha Ci,
seorang wanita yang memiliki paras yang sangat cantik. Aku bersama teman-temanku
melakukan pendakian santai ke sana. Dibandingkan Bromo gunung ini memberikan
pengalaman pendakian yang lebih menantang.
Ketagihan?
Pasti! Aku pun bersama teman-teman mulai sering melakukan pendakian ke
gunung-gunung yang lebih menantang. Aku tidak mengikuti organisasi pecinta
alam, tapi pengetahuanku tentang dunia mendaki aku dapat dari teman-temanku
yang mengikuti organisasi pecinta alam. Saat itu mendaki gunung belum sepopuler
seperti sekarang ini. Sehingga pendakian dilakukan benar-benar untuk berpetualang
bersama dengan teman-teman dan mendapatkan pembelajaran dari alam semesta.
Mungkin
orang akan menganggap klise tentang kalimat “pembelajaran dari alam semesta”
tapi tidak bagiku. Seperti aku bilang sebelumnya, aku ini berbadan gendut,
sehingga ketika mendaki gunung aku tidak seperti teman-temanku yang berbadan
sewajarnya. Banyak persiapan dan perjuangan yang harus aku lakukan.
Yang
namanya naik gunung itu capek, pake banget. Kita mendaki bukan cuma jalan jauh.
Sehingga butuh banget fisik yang kuat. Kondisi fisikku tidak akan sama dengan
teman yang lain. Aku sebagai pendaki gendut akan berjalan lebih lambat dari
teman-teman yang lain. Tapi walaupun lambat kita harus tetap berjalan dengan
langkah yang konstan, dan mengatur napas. Untuk bisa seperti ini kita harus
punya bekal fisik dengan cara olahraga sebelum berangkat.
Menu olahraga aku
lumayan berat ketika akan mendaki gunung. Karena aku selalu menetapkan targetku
untuk sampai puncak. Seminggu aku lari 3 kali dan setiap lari harus mencapai
jarak 5 kilometer dengan waktu yang konstan (biasanya akan butuh waktu 50-55
menit). Aku tidak mampu lari lebih cepat dari itu, maklum badannya berat
hehehe. Ketika lari aku mengatur ritme pernapasan. Dua langkah aku menghirup
napas, dan dua langkah kemudian buang napas. Napas aku usahakan dari hidung,
karena kalau menggunakan mulut akan membuat mulut kering. Tapi jika badan sudah
dalam keadaan lelah aku mulai menggunakan pernapasan lewat hidung dan mulut.
Tarik napas lewat hidung dan dibuang dari mulut.
Secara tidak langsung
alam semesta mengajarkan semua itu. Aku menjadi lebih pantang menyerah dan
berusaha, tidak menyerah pada keadaan. Aku tidak menyesali bentuk fisikku, yang
aku harus lakukan adalah aku menghargainya dan berjuang bersamanya. Sering aku
merasa lelah, tapi dibawa enjoy dan positif saja.
Alam semesta juga
mengajarkanku untuk tidak sombong dan bersyukur. Keberhasilan pendakianku
selalu membuat aku yakin akan selalu mencapai target. Tapi ternyata tidak
selalu. Pengalaman ini aku dapatkan di Gunung Semeru. Pertama kali aku mendaki
gunung ini tahun 2014. Begitu yakinnya aku akan mampu tiba di puncak.
Kesombongan menghantui aku. Tapi apa yang terjadi? Di seperempat badan Mahameru
aku merasa sangat kelelahan hingga tidak mampu melanjutkan pendakian dan
mengesampingkan targetku. Aku duduk terdiam, memandang alam, ditemani oleh
hembusan angin yang membawa butiran pasir saat itu. Aku melihat sebuah
keindahan. Aku menghapuskan kesedihanku dan aku pun berkata. “Mungkin untuk
saat ini puncakku bukan di Mahameru, tapi di sini”. Aku bersyukur Tuhan masih
memberikan aku fisik yang kuat dan kesempatan untuk sampai di atas ini.
Walaupun aku berbadan besar, aku musti ingat di tengah alam semesta ini aku
kecil.
Kegagalanku tiba di
Mahameru, tidak membuatku menyerah begitu saja. Aku tetap berusaha. Tahun 2015
aku pergi ke sana lagi, dan aku gagal lagi hahahaha. Kali ini aku hanya kuat
hingga tiga per empat badan Mahameru. Masih pantang menyerah, tahun 2016,
tepatnya Mei lalu, aku pergi ke sana lagi. Kali ini aku pasrah, nyampe syukur,
kalau enggak nyampe lagi ya berarti nanti tahun depan coba lagi. Tapi Alhamdulillah,
kali ini alam semesta memelukku. Akhirnya aku berhasil menginjakkan kakiku di
Mahameru dengan segala usaha dan upaya.
Mendaki gunung bukan hanya sekedar mengatur fisik, tapi juga
emosi. Ketika naik gunung, aku merasa aku bukan siapa-siapa. Aku hanya bagai
butiran debu ketika berhadapan dengan alam semesta. Ketika orang yang berada di
dekatmu adalah saudaramu. Orang yang melangkah di depan atau belakangmu adalah
teman seperjalananmu.
Sedikit lagi sampai di puncak Rinjani, Tahun 2015, aku bertemu
seorang pendaki. Dia berkata kepadaku "Mba tolonglah aku dikasih
semangat!" Aku tertawa mendengarnya, dari fisik dan ragapun sudah jelas
dia lebih kuat. "SEMANGAT MAS! Ayo duduk dulu di sini," ujarku
kepadanya. Di luar dugaan dia menjawab, "Mba aku minta semangat bukan
istirahat." Aku kembali tertawa mendengarnya.
"Kalau gitu gantian aku yang dikasih semangat, dong!" ujarku.
"Mba, Ayo Semangat! Puncak sudah dekat. Kalau capek, coba tanyakan pada diri sendiri, lebih baik ke puncak yang sudah dekat atau turun lagi ke ujung sana. Ayo Mba, Aku tunggu di puncak," ujarnya.
"Kalau gitu gantian aku yang dikasih semangat, dong!" ujarku.
"Mba, Ayo Semangat! Puncak sudah dekat. Kalau capek, coba tanyakan pada diri sendiri, lebih baik ke puncak yang sudah dekat atau turun lagi ke ujung sana. Ayo Mba, Aku tunggu di puncak," ujarnya.
Perbincangan singkat dengan saudara asing yang menyenangkan
dan mematik semangat. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada aku kembali melangkah.
Begitu aku sampai di puncak, pendaki tadi berteriak di kejauhan sambil
melambai, "Mba, hai mbaaaaa, selamat datang di Puncak Anjani." Aku
melangkah mendekatinya lalu dia aku kasih satu inaco. Dia pun bahagia hahaha.
Ya, seperti itulah, sesama pendaki pasti memberi semangat.
Sesama pendaki pasti merasa seperti saudara. Padahal kami tidak saling kenal.
Hal-hal seperti inilah yang enggak bisa didapatkan dari hanya jalan-jalan ke
mal atau nongkrong di cafe.
Setiap gunung banyak cerita, setiap
gunung banyak warna, setiap gunung punya pembelajaran yang berbeda. Banyak hal
yang aku pelajari dari sebuah gunung. Dalam setiap pendakian bukan hanya melulu
mencapai target, tapi juga sebagai sarana refleksi diri.
Salah satu pendakian aku yang tidak
bertarget adalah ketika ke Papandayan, tahun 2014. Aku bersama teman-temanku
hanya kemping di Pondok Salada dan berjalan santai ke Tegal Alun. Salah satu
teman pendakianku adalah seorang anggota dari Trashbag Community. Selama ini
aku selalu membawa sampahku kembali turun. Tapi pendakian kali ini aku baru
pertama kalinya bersama teman-temanku membawa sampah orang lain. Kami memungut
sampah yang berada di sekitaran Pondok Saladah dan di jalur perjalanan pulang.
Lumayan juga, kami mengumpulkan kurang lebih tiga buah kantung sampah.
Aku pernah membuat artikel tentang
sampah-sampah yang ada di gunung. Aku mewawancarai Kepala TNGPS saat itu. Menurutnya
selain mengotori lingkungan, ternyata sampah-sampah ini turut merusak ekosistem.
Seperti satwa-satwa yang berada di hutan memakan sampah yang di tinggalkan
pedaki, yang notabene bukan makanan asli mereka. Hal ini aku lihat dengan mata
kepalaku sendiri di Pos 3 Gunung Rinjani. Sekawanan monyet turun untuk mencari
makanan. Mereka mendekati para pendaki yang sedang beristirahat. Lalu mereka
mengais sampah dan memakan apa yang mereka temukan. Seperti bumbu bekas mie
instan. Kebiasaan baru inilah yang merusak perilaku mereka. Mereka enggan
mencari makan sendiri, tetapi mengandalkan sampah pendaki. Hal itulah yang
membuat aku bawel banget ke teman-teman sependakian untuk selalu membawa
kembali sampahnya. Kalau tidak mau memungut sampah orang setidaknya memungut
sampah sendiri.
Teman kami tidak mengajak memungut
sampah. Kami yang melihatnya tergerak sendiri untuk mengikuti apa yang dia
lakukan. Yang tadinya hanya duduk manis menunggu, langsung berdiri dan bergerak
memungut sampah. Ini yang namanya berbuat baik itu pasti menular. Di mana pun,
dan kapan pun. Tanpa orang-orang seperti mereka mungkin sampah di gunung ini
numpuk juga.
Ceritaku yang paling pamungkas adalah
tentang teman pendakian dan sikap seorang wanita. Aku punya seorang teman
pendakian, laki-laki. Kami sudah menginjakkan kaki bersama di beberapa gunung.
Kami bersama punya niat untuk selalu menginjakkan kaki bersama di puncak-puncak
tertinggi sebelum pada akhirnya ke pelaminan (cieeeee). Sebagai seorang wanita
mandiri, terkadang sulit untuk menempatkan diri ketika berhadapan dengan
laki-laki. Selalu merasa bisa sendiri dan lebih baik dibandingkan laki-laki.
Temanku ini adalah anggota muda dari sebuah perhimpunan penempuh rimba dan
pendaki gunung. Dengan keahlian dan
kemampuannya dia mengajari aku banyak hal tentang pendakian. Bagaimana cara
melihat arah angin, melangkah di medan berpasir, menentukan tempat berkemah,
packing, perbekalan, dan masih banyak lagi. Dia mengajariku hal-hal kecil tapi
penting. Sehingga salah satu cara untuk “mengingatkan” aku bahwa suatu hari
nanti laki-laki yang akan menjadi imam adalah dengan melakukan pendakian
bersamanya. Kita ini memang wanita tangguh, tapi tetap perlu diingatkan tentang beberapa sikap.
Aku senang berpetualang, dan aku
senang berbagi tentang perjalanan-perjalananku. Setiap pulang dari pendakian suatu gunung, aku langsung unggah
foto-foto di media sosial atau menulis blog. Sekali
waktu ada yang pernah mengirimkan personal
message di instagram saya. Perempuan ini berbadan gendut sepertiku. Dia
ingin sekali mendaki gunung dan bertanya tips
pendakian untuk orang gendut. Hihihi. Dari yang tadinya Cuma tanya-tanya, kami
pun jadi sering berkomunikasi via personal
message. Senang rasanya menginspirasi.