Aku teringat akan Christopher Columbus si penemu Benua Amerika. Semua orang enggak akan tahu bagaimana sejarah penemuan benua Amerika jika bukan karena Columbus membuat catatan perjalanan. Zaman dahulu orang-orang lekat akan menulis buku harian, selain untuk curhat atau menuliskan kata-kata puitis, mereka juga menulis tentang kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya. Kejadian ringan sampai kejadian besar yang memiliki dampak yang signifikan untuk kehidupan orang banyak.
Ya, aku ingin tulisan ini bisa menjadi saksi sejarah. Jika bukan untuk orang banyak, mungkin bisa untuk anak cucu aku (amin, ya, Alloh).
Tanggal 15 orang-orang mulai panik. Semua memborong hand sanitizer, masker, sembako dan barang-barang lainnya untuk bertahan hidup. Saat itu aku sedang berada di Jakarta, kota yang memiliki jumlah suspect yang begitu tinggi. Aku pergi tanpa membawa hand sanitizer, hanya masker dua lembar. Aku pasrah, dan mengandalkan fasilitas hand sanitizer yang ada di tempat umum. Dari artikel-artikel yang aku baca, virus ini tidak menyebar via udara. Orang yang terpapar oleh virus ini punya gejala batuk pilek. Ketika mereka batuk dan bersin (tanpa menutup mulut atau memakai masker), virusnya akan menyebar dan menempel di mana-mana. Jika dia menutup mulutnya pakai tangan, maka besar kemungkinan virusnya menempel di mana-mana. Ketika kita menyentuh apa yang dia sentuh, lalu kita makan atau menggosok mata, maka bisa banget kita ketularan.
Aku yang tadinya biasa-biasa aja jadi parno. Suhu udara Jakarta yang cukup panas, membuat daya tahan aku melemah. Di luar ruangan panas, di dalam ruangan dingin. Kan, bikin kepala jadi pusing, bersin-bersin. Sekalinya minum dingin langsung gatel tenggorokan. Tapi aku yakin ini hanya gejala "gak enak badan" pada umumnya, soalnya aku memang tidak memiliki riwayat yang memungkinkan aku terkena virus corona. Seperti berpergian ke luar negeri selama dua minggu terakhir atau berinteraksi dengan orang asing. Rasanya ingin pulang ke Bandung secepatnya.
Ngapain, sih, di Jakarta. Ke Indofest sekalian aku harus urus beberapa keperluan penting yang belum sempat aku urus saat pindah ke Bandung (dari Jakarta) tahun lalu. Seperti urusan perbankan, surat-surat penting, dan penandatangan dokumen apartemen aku. Jadi bukan buat liburan, tapi emang kebetulan aja harus ke Jakarta.
Tanggal 15 malam, grup sekolah aku (aku saat ini berprofesi sebagai guru di salah satu sekolah swasta di Bandung) heboh dengan situasi saat ini. Banyak orangtua yang mempertanyakan apakah aman atau tidak jika anak tetap beraktivitas di sekolah. Diskusi berjalan hingga malam hari, sampai akhirnya keluarlah surat edaran dari Kang Oded, Wali Kota Bandung, yang menyetakan kebijakan bahwa seluruh warga Kota Bandung dihimbau untuk lebih waspada dengan berperilaku hidup bersih dan sehat di berbagai tempat, serta menghindari keramaian dan perjalanan tidak penting. Salah satu butir dari kebijakan tersebut juga menyatakan untuk memberlakukan pembelajaran jarak jauh melalui media daring bagi peserta didik pada satuan pendidikan di bawah kewenangan Pemkot Bandung (PAUD/TK, SD, SMP, LKP, LPK, dan PKBM).
Seiring dengan pengumuman tersebut, maka viral-lah hastag #workfromhome dan #schoolfromhome.
Sebagai salah satu praktisi pendidikan, maka akupun patuh dengan kebijakan tersebut.
Hari pertama aku bahagia. Bahagia banget. Tidak perlu bertatap muka dengan siswa, tidak perlu bangun pagi lalu bermacet-macet ria untuk pergi ke sekolah, enggak perlu mikir pake baju apaan (pake piyama juga bisa), kerja bisa sambil leyeh-leyeh, koordinasi menggunakan media daring, enggak perlu jajan karena makan masakan mama. Pokoknya mantap, deh.
Aku menertawakan teman-temanku yang bikin status, "aduh, gak betah banget di rumah," atau mempermasalahkan kebosanannya diam di rumah karena mereka adalah golongan kaum ekstrovert. Aku nyinyir dalam hati, kok, bisa-bisanya mereka kurang enjoy. Kita hanya perlu enjoy dengan berdiam diri di rumah.
Hari kedua, masih merasa hal yang sama. Hari ketiga dan keempat pun sama. Sampai di hari ke lima, tepatnya ketika aku menulis tulisan ini, aku memiliki perasaan gelisah yang begitu tinggi. Aku resah. Iya, aku resah hingga tidak bisa duduk diam. Timbul perilaku-perilaku yang menuntut aku untuk bergerak. Seharian ini aku mencoba menyibukkan diri semenjak pagi. Bangun tidur, setelah sarapan, aku main sepatu roda keliling rumah hampir 1 jam. Siang hari aku main sepeda statis. Sore hari aku treadmill.
Iya, setiba-tiba aku ingin ketemu dengan orang. Aku ingin ngobrol, berinteraksi, bersosialisasi, pokoknya keluar dari rumah. Aku jadi ingin berteriak, "JIWA EKSTROVERTKU MERONTA-RONTA". Salah satu cara untuk orang ekstrovert me-recharge energi rohaninya kan memang bersosialisasi dengan orang lain. Maka apa yang aku lakukan? Aku aktif banget di sosial media, komen sana sini, bikin ig story biar ada yang komen ngajak ngobrol, bikin postingan IG, nge-chat sahabat-sahabat aku. Ya, pokoknya aku selalu mengusahakan untuk berinteraksi dengan orang. Yang paling di luar kebiasaan adalah, belanja online. Iya, aku jarang banget belanja online. Cuma buat bisa berinteraksi dengan penjual atau pengantar.
Kenapa enggak keluar aja? Masih banyak, kok, orang-orang juga yang santai nongkrong di cafe dan jalan-jalan di mall. Karena moral! Ada sebuah saringan di dalam diri ini yang membuat aku pribadi tidak mau melakukan hal-hal yang menurut aku tidak benar.
Kegelisahan ini membuat aku tidak bisa beristirahat tepat waktu. Aku selalu tidur di dini hari, walaupun seharian badan dipakai berolahraga. Huhuhuhu...
Aku enggak nyangka, kepribadian seperti ini, yang aku anggap menyenangkan, ternyata bisa membuat aku gelisah di tengah situasi seperti ini. Aku sungguh berharap, semua keadaan bisa baik-baik aja.