30
September 2016, aku berusia 30 tahun.
Beberapa saat sebelum aku menginjak usia ini aku galau parah.
Kenapa?
Yang pertama, sih, jelas di umur segini teman-temanku yang lain sudah pada
gendong anak. Ada yang udah gendong dua malahan. Aku? Ketika buka mata masih
sendirian dan berada di dalam kosanku yang berantakan di Kebon Jeruk.
Kedua, tidak ada kebaharuan dalam kehidupanku. Masih sama saja dengan
kehidupanku saat aku berusia 29. Masih jadi wartawan di media anak-anak. Masih
bangun siang. Masih (saat itu) pacaran dengan dia yang entah ke mana arahnya.
Singkatnya, semua terasa MONOTON.
Ketiga. Bagi perempuan 30 tahun itu krusial. Lagi ranum-ranumnya. Segala
kerasa. Mudah letih, lelah, lesu, bahkan adrenalin yang menggebu-gebu pun mulai
terkikis. Harus nyaman dan segala teratur dengan baik. Yang paling parah, konon
metabolisme tubuh pun sudah mulai lambat. Yang artinya, akan makin sulit untuk
membakar lemak.
No. No. No.
Saat itu aku ingin mematahkan dan mengubur dalam-dalam perasaan galau ini. Aku enggak
mau menjadi (semakin) tua dengan beragam keluhan yang tak pasti.
Maka:
"Aku pas ulang tahun mau naik gunung!" Ujarku kepada si pacar (saat
itu).
"Ke mana?"
"Lawu."
"Oke."
Terucap begitu saja, karena baru liat tentang Lawu di IG. Aku segera
mengumpulkan pasukan dan membentuk grup WA "Gunung Lawu".
Ya, seimpulsif itu dan segerak cepat itu. Langsung cari tiket kereta api.
Siapin perlengkapan. Latihan fisik. Cerewet di grup wasap biar orang-orang juga
siapin fisik dan peralatannya.
Dan tanggal 30 September 2016 pun aku berada di kereta api menuju Madiun. Tepat
pukul 12 malam, pergantian malam ke tanggal 1 Oktober, aku tiup lilin bersama
temenku si Puput. Ya, kami lahir cuma beda sehari hahaha.
Saat itu titik kumpul kami di Madiun. Kebetulan salah satu temanku lagi tugas
di Madiun. Kita kumpul di rumahnya kemudian kita road trip ke Cemoro Sewu.
Tim kami sembilan orang saat itu, empat laki-laki dan lima perempuan. Setelah
memastikan semua peralatan lengkap, dan perijinan beres diurus, pendakian pun
dimulai.
Medan Gunung Lawu berbatu, mengingatkanku dengan jalur pendakian Taman Nasional
Gunung Gede Pangrago via Cibodas. Tracknya panjaaaaaang banget.
Jam 12 kita tertib istirahat makan siang (padahal pos 1 aja belum). Kita
istirahat di salah satu bidang lapang dan ada pos di sana. Entah pos apa, ada
ibu-ibu dagang gorengan di gembolan.
Kita pun bongkar makan siang. Bahkan pasang hammock
segala. Abis makan leyeh-leyeh sejenak sambil hammock-an. Cuaca panas banget saat itu, makannya hammock-an di bawah pohon rasanya enggak
bisa dibiarkan begitu saja.
Setelah semua siap kita kembali mendaki. Saat itu salah satu teman perempuanku
mulai kelelahan. Dia berjalan mulai lambat di belakang. Tapi tak masalah. Tak
ada yang dikejar yang penting semua sehat dan selamat.
Aku dan ketiga teman perempuanku jalan cukup cepat sambil ngobrol haha hihi.
Gak lama si Puput menyusul dan jalan bersama kami. Lambat laun cuaca berubah.
Yang tadinya panas terik tak tertandingi menjadi mendung kelabu. Tak diragukan,
hujan akan segera turun.
Benar saja, belum tiba di pos 2, hujan turun sangat deras. Aku lupa kejadiannya
bagaimana tetiba kami terpisah-pisah. Temanku dua di depan. Aku sendiri di
tengah. Dan sisanya di belakangku.
Aku tuh ragu jalan maju sendirian atau tunggu teman (yang cukup jauh di
belakang). Akhirnya aku diam di bawah hujan sendirian. Setelah aku melihat jas
hujan temanku samar-samar di belakang. Aku langsung maju jalan.
Hujannya enggak ramah. Rintiknya enggak romantis. Pake angin segala. Kacamataku
berembun. Sulit rasanya aku berjalan. Dikit-dikit aku tengok temanku di
belakang.
Alhamdulillah
banget ternyata aku tidak jauh dari pos 2.
Banyak pendaki berteduh di sana. Penuuuuuuh banget. Aku melihat keberadaan dua
temanku di sana. Kemudian satu persatu pun berkumpul. Namun, kelompokku kurang
dua orang. Si temanku perempuan yang kelelahan dan pacarku (saat itu).
Sejam lebih tidak kunjung datang. Bahkan pendaki lain sudah tiba. Aku selalu
bertanya keberadaan keduanya. Kata pendaki yang melihat, mereka sedang jalan
pelan tapi cukup jauh. Beberapa saat kemudian mereka pun datang. Keadaan teman
perempuanku menggigil kedinginan, mukanya pucat. Kami menggigil kedinginan dia
dua kali lebih kedinginan. Untungnya pos cukup padat saat itu. Pendaki tumplek
blek jadi satu, ada yang bikin air hangat lalu digilir untuk diminum.
Ini
mengapa aku suka mendaki. Tak kenal tapi saling mengasihi. Semua teman. Semua
kawan.
Hujan
tidak main-main kala itu, jalur di hadapan kami jadi tampak seperti air terjun.
Kami terjebak berjam-jam di sana. Tak bisa melanjutkan perjalanan. Beberapa tim
memutuskan untuk kembali turun. Mustahil katanya.
Aku
akhirnya bermusyawarah (kamana atuh bermusyawarah) dengan teman-temanku dan
memutuskan untuk tetap menunggu badai berlalu dan melanjutkan perjalanan. Ya,
target kami saat itu puncak. Aku mengatur strategi. Kami akan berjalan dua-dua,
menggunakan buddy system. Membagi
rata kekuatan yang ada. Dua orang yang bisa berjalan dengan cepat aku minta
jalan di depan membawa tenda. Aku dan rekan-rekan yang berjalan pelan tapi pasti di tengah. Temanku yang kelelahan
berjalan di paling belakang. Tenang, dia tidak jalan sendirian. Dia jalan
bersama dia yang paling mumpuni di dalam tim ini. Yang dia adalah
!#/))#*^#@*(@*@/@€(@) (maaf sinyal hilang).
Tak
lama berjalan kami tiba di pos 3. Hujan sudah berhenti tapi dingin tak
tertahankan. Bergerak cepat bangun tenda dan memasak makan malam. Salah satu
temanku tiba-tiba terdiam saat itu. Aku pikir dia kesurupan! Soalnya dia
melepas genggamannya yang lagi memegang tiang tenda.
“Wan,
are you oke?” tanyaku.
Dia
balik badan sambil bilang, “gue kedinginan, Mel.”
Air
belum masak, Ridwan kedinginan. Aku bingung. Teman-teman sibuk bikin tenda. Tapi
tenang, aku bingungnya gak kelamaan. Aku peluk tuh si Ridwan. Tangannya gue
genggam terus digosok-gosok sampe anget. Alhamdulillah banget, nih, si Ridwan
gak lama skip-nya. Dia mulai hangat
dan bisa bikin tenda lagi.
Enggak
lama rombongan terakhir datang. Temanku yang kelelahan segera diminta ganti
baju. Menghangatkan diri. Aku masak sayuran berkuah saat itu. Hangat dan
nikmat. Kata orang-orang enak. Entah karena lapar atau emang gak ada makanan
lagi itu ya hahahaha.
Ketika
aku mau istirahat, aku selalu mendengar ada pendaki lewat. Banyaaaaaaaaaaaaaaak
banget gak berhenti-berhenti. Katanya malam itu malam satu suro. Banyak orang
datang ke puncak Gunung Lawu untuk melakukan ritual mandi di Sendang Drajat.
Pas
aku kebelet pipis, aku keluar tenda sama temanku. Pas balik aku liat ada
bapak-bapak pake baju serba putih lagi diem di ujung kumpulan tenda rombongan
kami. Aku bilang ke temanku mereka ngeliat apa enggak. Mereka bilang mereka
liat, jadi yaudah didiemin aja. Toh, enggak ganggu juga. Kami pun tertidur.
Kami
semua bangun siang kelelahan. Gak ada yang pingin buru-buru ke puncak saat itu.
Lagian di puncak rame orang malam satu suro-an. Kami pun memutuskan jam 9 baru
muncak.
Rencana
awal kami akan turun via Cemoro Kandang. Tapi melihat temanku yang sudah
kelelahan dan gak sanggup jalan lagi, kami pun memutuskan kembali lewat Cemoro
Sewu. Walau temanku sudah pulih dari kelelahan, tapi dia memutuskan tidak ikut
ke puncak dan diam di camp.
Kami
ke puncak berdelapan. Jalan dua-dua, pelan tapi pasti, rapih jali, foto sana,
foto sini. Aku lupa tepatnya jam berapa, tapi kayaknya sebelum jam 12 sudah
tiba di puncak.
Aku
bersyukur saat itu. Aku di umur aku yang sudah 30 tahun, badan gendut, rambut
bau tapi ketek tetep wangi, berhasil berdiri di 3265 mdpl. Puncak ke-12.
Setelah
sampai di puncak, target pun berubah. Pulang ke rumah dengan selamat.
Hujan
mulai rintik. Tak langsung menuju pos 3 kami makan pecel dulu dooong di Mbok
Yem. Warung pecel tertinggi kayaknya, nih. Penuuuuuh banget warung pecelnya.
Pas lagi ngantri pecel, ujan deres lagi, dong. Semua numplek blek lagi di
warung ini. Dingin, cape, untungnya perut kenyang. Begitu hujan reda sedikit
kita pun tancap gas ke pos 3.
Sampai
pos 3 segera packing. Cuaca tak
bersabat. Kabut, gelap, dingin. Hujan akan kembali turun saat itu. Aku selesai packing duluan. Aku mengajak teman
perempuanku yang lelah untuk jalan duluan pelan-pelan. Sayangnya dia memutuskan
untuk memakai sendal gunung, berikut kaos kakinya dibungkus lagi pake plastik. Ini
sangat amat tidak disarankan karena pasti licin. Apalagi hujan akan turun
kembali. Udah dikasih tau keukeuh,
yasudah.
Aku
bilang untuk perhatikan langkah kakiku. Ikutin. Aku akan jalan pelan-pelan. Maka
jalanlah aku. Karena aku fokus banget turun sambil ngomong cara turun yang
bener, aku lupa nengok belakang. Ada kali 15 menit aku ngomong, pas nengok
orangnya gak ada. Ketinggalan hahahhaa. Jadi ceritanya aku sendirian lagi, nih,
di tengah hutan belantara. Ngeri ngeri sedap, nih. Kabut pula. Jujur aku
ketakutan. Pake banget. Untungnya, gak lama Puput dateng nyusul aku. Emang, dia
mah buddy system yang pas mantab
banget.
Teman-teman
aku yang lain pun turun cepat ke pos 2. Tinggal teman perempuanku itu yang
belum tiba. Akhirnya diputuskan kami lanjut jalan, karena sudah jam 5 sore.
Kami ngejar kereta pulang jam 10 malam. Tenang, temanku bersama expert, kok. Makannya kami berani
tinggal.
Turun
cepat tanpa rem. Break sebentar di
kala maghrib. Kemudian hujan deras pun turun lagi, lagi, dan lagi. Mana aku
kebelet boker pula. Tapi takut buat boker sembarangan, gara-gara temenku si
Ajeng ngeliat hal-hal aneh melulu. Aku udah bilang kalo liat hal aneh jangan
dianggep. Aku sih gak bisa liat apa-apa, kacamata aku berembun parah. Aku cuma
bisa liat cahaya senterku, kaki temanku, dan senternya si Puput. Aku udah
kebelet banget, tapi kata Puput tahan aja dulu sampe ke base camp. Yaudah
dehhhhhh lanjuuuut. Akhirnya jam 19.00 aku bisa boker dengan bersahaja di base
camp.
Nyampe
di warung soto, beberapa temanku udah ada yang tancap gas balik duluan ke
Madiun. Mereka ngejar kereta jam 9 malam. Aku masih santai karena keretaku jam
10 malam. Makan soto dulu lah.. Saat itu sisa aku, Puput, Ajeng. Kami nunggu
rombongan terakhir.
Jam
20.30 mereka belum juga dateng. OMG!! Aku mulai panik nih, Puput sama Ajeng aku
suruh balik ke Madiun duluan, karena takut ketinggalan kereta. Tapi mereka gak
mau. Mereka mau nunggu rombongan terakhir. Aku atur strategi sama Puput,
soalnya kita mulai panik. Rombongan terakhir gak dateng-dateng. Jam 21.30 kami
pasrah dengan tiket kereta dam mulai mencari ojek buat ngejemput teman kami ke
atas. Tapi kemudian kami sadar entah di mana mereka berada. Kami pun
harap-harap cemas. Kita tunggu sampai jam 11 malam, kalau belum ada tanda-tanda
kemungkinan akan kami cari.
Alhamdulillah
banget, nih, jam 22.30 mereka pun tiba. Teman perempuanku itu pucat pasi. Segera
dikasih soto ayam dan teh anget biar gak pucet lagi. Dia cerita banyak hal yang
nyata dan “nyata”. Lumayan bikin bulu kuduk berdiri. Alhamdulillah dijagain
bisa sampe turun ke basecamp.
Lalu
pulangnya gimana? Tiket keretanya, kan, udah hangus.
Jangan
kayak orang susah, kita beli tiket lagi. Lebih tepatnya dibeliin sama temanku,
sebagai rasa terima kasih. Alhamdulillah rejeki anak soleh.
Selalu
seru dan banyak cerita di setiap pendakian. Mungkin kalau aku tidak hobi
mendaki, aku tidak punya cerita yang bisa aku tulis atau aku ceritakan tentang
ulang tahunku yang ke-30 ini.