Ratu Cumi's Choice

APA SAJA YANG HARUS DIPERSIAPKAN JIKA INGIN MEMULAI "DIVING"?

Diving , atau dalam bahasa Indonesia bisa disebut dengan menyelam, adalah salah satu olahraga yang masuk ke dalam kategori ekstrem. Dari sem...

Selasa, 25 Agustus 2020

Batas Tipis Hidup dan Mati

Saat ini aku sedang terbaring di atas tempat tidur sembari merenung. Merenungi beberapa kejadian yang pernah aku lewati. Ada yang seru, ada yang menyenangkan, ada yang menyedihkan, ada pula yang memosisikan aku di ambang hidup dan mati.

Kejadiannya tepat dua minggu yang lalu. Aku sedang pergi hiking bersama dengan rekan kerjaku. Medannya tidak terlalu menantang, hanyalah sebuah curug di daerah Subang. Kami berencana pergi selepas subuh, namun aku telat bangun. Akupun menjadi sedikit terburu-buru. Sejujurnya aku tidak begitu suka jika terburu-buru, namun nyatanya kuselalu terburu-buru. Aku datang paling terakhir saat itu.

Kami sepakat pergi ke sana dengan menyewa angkot, alasannya supaya lebih akrab. Aku memilih duduk di depan. Bukannya cule supaya bisa menikmati pemandangan, aku suka mabuk darat kalau naik angkot dan duduk di belakang. 

Dalam perjalanan kumelihat pancaran sinar Matahari pagi, menerkam kegelapan. Sungguh indah. Kendaraan kami pun seolah memecah kerumunan kabut pagi. Pohon-pohon pinus yang berada di sisi kiri dan kanan jalan bagai para among tamu yang menyambut kedatangan kami.

Perjalanan cukup cepat. Sebelum pukul 07.00 WIB kami sudah tiba. Perjalanan pun dilanjut dengan berjalan kaki. Medan aspal berubah menjadi bebatuan, pemandangan hutan pinus pun berubah menjadi hamparan kebun teh. Kupandang langit cukup berawan, sehingga sinar matahari pun tampak seperti pijar lampu yang menyinari Bumi. Aku yakin, hujan akan turun hari itu.

Hanya butuh setengah jam, aku dan rombongan tiba di pelataran curug. Melihat jeram-jeram kecil rasanya tak sabar ingin bermain air. Akupun segera menaruh bawaanku, melepas sepatuku, lalu kemudian memanjat tebing batu yang memagari jeram-jeram kecil tersebut.


Aku sudah tahu tujuanku jeram yang posisinya di paling atas. Di sana dasar jeram cukup dalam, sehingga aku bisa berenang bak di kolam. Menuju ke sana aku harus berjalan melipir tebing batu dengan sangat berhati-hati. Beberapa rekan ikut denganku. 

Keadaan air sangatlah dingin, aku merasa debit air pun cukup deras. Tapi itu tidak mengurungkan niatku bermain air. Aku dan rekan-rekanku berenang, bermain air, dan tertawa riang gembira.

Setelah kurang lebih satu jam, kami pun memutuskan untuk berpindah tempat menuju air terjun yang berada di bawah. Satu persatu keluar dari air, bersiap kembali untuk jalan melipir di tebing batu. Saat sedang berjalan, salah satu rekanku tampak ragu dan berhati-hati. Aku memerhatikannya, hingga aku kurang fokus dengan pijakanku sendiri.

Sepersekian detik, kakiku terpeleset. Aku meluncur jatuh dengan cepat. Tak ada yang bisa aku raih untuk bertahan, karena semuanya berupa bebatuan lincin. Saat itu aku merasa aku akan mati. Aku pun istighfar, dan menyebut kata maaf kepada ibuku. Aku pasrah.

Setelah mendarat, aku pun menyadari aku masih hidup saat itu. Aku sungguh sangat bersyukur. Aku langsung memeriksa seluruh badanku, apakah ada yang patah atau tidak. Sepertinya aman, namun kakiku nyeri sekali. Sakit yang luar biasa karena ternyata aku mendarat tepat dengan dua kaki yang lalu kemudian bertumpu di kaki kanan. Tempat aku mendarat bebatuan kerikil kecil yang tentu saja membuat sekujur badan bertambah nyeri. 

Aku membalikkan kepalaku, aku melihat ada sebongkah batu besar dengan ujung yang lancip. Ya Tuhan, aku sangat bersyukur tidak jatuh di atas batu tersebut. Aku lemas seketika. Aku melihat ke atas, cukup tinggi aku terjatuh, kira-kira 3 meter! Aku tidak bisa mengangkat badanku, kakiku sakit sekali dan tidak bisa menapak di bebatuan. Salah satu rekanku datang sambil mengatakan bahwa telapak kakiku yang sebelah kiri sobek mengeluarkan banyak darah. 

Aku lemas tak berdaya, rekan sebayaku datang untuk menolong. Tapi keadaanku masih syok. Aku memilih untuk duduk diam tidak bergerak untuk menenangkan diri. 

"Aku enggak apa-apa."

Rekanku memastikan berkali-kali. Aku memintanya untuk turun duluan, aku masih ingin duduk menenangkan diri dan meredakan nyeri. Setelah cukup tenang, aku mencoba untuk berdiri, kaki kananku sakit sekali untuk dipijak, akhirnya aku memilih menuruni tebing batu dengan menyeret pantatku pelan-pelan. 

Begitu berhasil tiba di bawah, salah satu rekan mencoba untuk membersihkan dan mengobati kakiku yang sobek. Linu rasanya. Aku panas dingin. Tapi ada hal yang cukup menarik perhatianku saat itu, sepertinya bentuk kaki kananku berubah. Aku panik tapi tetap mencoba untuk tenang. Rasanya ingin menangis, tapi aku yakin menangis tidak akan menyelesaikan masalah.

Aku meminta rekan sebayaku untuk mengecek kakiku. Menurutnya tidak ada masalah, mungkin hanya memar karena bertumbukan dengan bebatuan. Karena sugesti positif yang aku dapatkan, aku masih memaksakan diri berjalan dari pelataran curug menuju tempat parkir angkot. Aku berjalan dengan lambat, dibantu dengan tongkat dari kayu. Cobaan pun ditambah dengan hujan deras.

Di perjalanan pulang, aku masih berusaha untuk tenang. Aku meriang kedinginan saat itu. Aku mencoba untuk tidur, namun setiap aku memejamkan mata terbayang kejadian saat aku terjatuh yang membuat aku meringis ngilu. Setibanya di tempat kerja, setelah beberapa rekanku pulang, aku meminta salah satu rekan kerjaku untuk membersihkan lukaku. Disitulah tangisku pecah. Aku menangis seperti orang kesetanan. Rasa sakit, terancam, takut, trauma seolah menjadi satu.

Saat lukaku sudah dibersihkan. Aku berdiri dan berjalan, rasa sakit di kakiku maki  menjadi-jadi. Aku bingung aku harus bagaimana. Akhirnya aku memilih untuk pulang ke rumah dan beristirahat. Sambil tertatih-tatih aku jalan ke mobilku dan menyetir mobil pelan-pelan. Berat rasanya untuk membuka pagar, menutup pagar, parkir mobil, dan serangkaian hal yang harus aku lakukan sebelum masuk ke dalam rumah.

Aku tidak berani bilang ke ibuku tentang keadaanku. Apalagi kalau aku bilang aku hampir mati. Dengan bersusah payah aku masuk ke kamar, ganti baju, lalu rebahan. Aku menggigil parah saat itu. Aku tidak bisa tidur, karena setiap aku memejamkan mata, bayangan aku terjatuh kemudian mendarat di batu-batu pun mucul disertai rasa ngilu. Aku menangis sendirian saat itu. Aku menghubungi teman-temanku, tampak aku butuh pertolongan, tapi yang kudapat malah pertanyaan demi pertanyaan. Belom lagi mereka memberikan kemungkinan-kemungkinan buruk yang malah membuat aku makin putus asa. Di situlah aku mulai tidak lagi percaya dengan kata-kata, "kalau butuh bantuan hubungin aku aja."

Aku pun menghubungi temanku yang dokter, pertanyaan demi pertanyaan datang. Instruksi demi instruksi diberikan, yang rasanya tidak mungkin aku lakukan. Saat itu aku sedang trauma, sendirian, orangtua aku enggak tau keadaan aku. Aku pun minta pengertian, bukan instruksi seperti itu yang dibutuhkan. Aku hutuh langkah taktis yang harus aku lakukan saat ini, supaya aku bisa bertahan hingga esok pagi. Untungnya temanku yang dokter ini mulai paham, dan memberikan panduan yang menurutku tepat. Salah satunya adalah minun obat pereda sakit. Akupun akhirnya bisa tidur karena ketiduran setelah lelah menahan sakit.

Besok paginya aku melihat kondisi kakiku yang makin parah. Aku akhirnya bilang ke ibuku tentang keadaanku dan minta dibawa ke rumah sakit. Aku hanya bilang rerjatih saja, tidak memberikan detail kejadian. Untung saja ibuku tidak banyak tanya, dan dengan segera membawakubke IGD salah satu rumah sakit tulang.

Setelah melewati rangkaian pemeriksaan, ternyata tulangku patah huhuhu. Ada dua pilihan dioperasi pasang sekrup atau di gips selama 3 minggu. Aku terlalu takut menjalani operasi. Aku pun memilih untuk di gips saja, walaupun nantinya bentuk kakiku tidak seperti semula.


Hari-hari pertama memakai gips dan tongkat membuatku putus asa. Apalagi pada awalnya aku tidak tahu bagaimana cara berjalan memakai tongkat. Belum lagi cara untuk buang air kecil, mandi, dan kegiatan harian lainnya. Aku cukup sedih dan sering putus asa. Tapi kalau merasa mau menyerah, aku langsung mengatur pikiranku supaya bersyukur masih dikasih kesempatan hidup, hanya dikasih cobaan tulang kaki yang patah. Sebisa mungkin atur pikiran, ini bukan cobaan tapi ilmu baru dalam kehidupan. Lama-lama emosi bisa dikelola, mobilitas pun jadi terbiasa. Aku jadi mikir cara-cara yang membuat aku nyaman untuk berkegiatan sehari-hari. Hingga pada akhirnya aku bisa berdamai dengan keadaan.

Bersyukur banget hari ini aku masih bisa rebahan sambil menulis blog.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar